Sabtu, 10 Maret 2012

PERSETUBUHAN KAPITAL, INTELIJEN DAN INSTITUSI PENDIDIKAN

Konspirasi Intelijen Dan Dunia Akademik ( Peran dan posisi negara dalam hal ini pemerintah, tidak lebih hanya menjalankan peran administratif ketatanegaraan saja ) Muhammad Afandi Ojudista Sejalan dengan terus berkembangnya arus informasi yang tinggi dan meningkatnya kebutuhan manusia di seluruh aspek serta perebutan-perebutan akan suatu daerah yang masih mengandung mineral-mineral dengan nilai tinggi menyebabkan suatu kondisi persaingan yang terbuka dan menghalalkan segala cara karena memang terbatasnya kekayaan alam dan tidak bertambahnya daratan. Perebutan ini akan menciptakan peperangan yang tak terelakkan karena memang dengan perkembangan peradaban manusia dimana kebutuhan manusia juga semakin bertambah mendorong terjadinya rivalitas yang tinggi baik antar satu manusia dengan manusia yang lain maupun satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain. Dalam kondisi inilah lahir sebuah aktifitas atau kegiatan, proses, instrument yang didasarkan pada sebuah kecerdasan akal untuk mendapatkan, mengolah dan menganalisis berbagai informasi untuk dihadirkan sebagai data guna pengambilan keputusan atas berbagai permasalahan yang dihadapi sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai intelijen. Intelijen yang berarti kepandaian dan kecerdikan dan pada perkembangannya intelijen berfungsi dalam kegiatan banyak hal. Dengan dukungan perkembangan teknologi menyebabkan intelijen merupakan instrument vital untuk memenuhi sebuah kebutuhan yang diinginkan oleh sekelompok kepentingan orang ataupun organisasi tertentu yang jika disederhanakan adalah mereka yang disebut sebagai pengambil keputusan di seluruh berbagai sektor kehidupan politik, social, budaya, pertahanan keamanan, teknologi dan ilmu pengetahuan. Masa Kolonialisme dan Imperialisme Kemenangan para cendikiawan yang mendukung gagasan bahwa bumi itu bulat telah menghancurkan doktrin gereja yang pada saat itu mengimani bahwa bumi itu datar. Dalam proses pembuktiannya, para pemilik modal ikut mengambil peran mendukung gagasan para cendikiawan dengan memfasilitasi ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol yang kemudian diikuti oleh Inggris, Perancis dan Belanda sampai pada akhirnya mereka menemukan jalan ke “Hindia” dengan berkeliling Afrika menuju ke timur dan berkeliling Amerika Selatan menuju ke Barat yang akhirnya membentuk peradaban Eropa baru bernama United State of America (Amerika Serikat). Konsep pemikiran Merkantilisme sebagai aliran politik ekonomi yang berkembang di Eropa ketika itu menemukan bentuk kesejatiannya dengan ditemukannya wilayah-wilayah baru yang kaya dengan potensi alamnya dan keramahan penduduknya. Inilah awal dari pengiriman ekspedisi besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa dengan mengibarkan panji-panji Gold, Glory, dan Gospel sebagai basis legitimasi atas pengkaplingan yang mereka lakukan terhadap wilayah-wilayah jajahan baru yang tersebar di seluruh dunia. Masa Neo Kolonialisme dan Imperialisme Kebrutalan dan keserakahan untuk yang terbalut dalam sebuah nafsu buas untuk menguasai sebanyak mungkin wilayah jajahan baru memicu konflik dan persaingan liar diantara bangsa-bangsa eropa yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perang dunia I yang kemudian berlanjut pada perang dunia II. Seiring dengan perubahan zaman serta tata politik dan tata ekonomi dunia dengan menguatnya keinginan dari banyak wilayah jajahan yang menuntut kemerdekaan dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa dimana tidak bisa lagi dibendung dengan kekuatan militer, maka pengakuan kemerdekaan bagi Negara-negara baru tersebut merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dan hanya menunggu soal waktu. Di sisi lain, kemajuan ekonomi bangsa-bangsa Eropa ditambah lagi Amerika Serikat sudah berkembang sedemikian pesatnya kearah industrialisasi yang menuntut jaminan tersedianya pasokan bahan baku dan energi secara berkesinambungan serta tentunya dukungan pasar, baik pasar tenaga kerja maupun pasar bagi pemasaran produk-produk industri mereka. Perkembangan di bidang sosial-politik, walaupun ditengarai oleh adanya konflik “ideologis” antara Negara-negara pendukung Kapitalisme-Liberalisme yang tergabung dalam NATO dan dikomandoi oleh Amerika (USA) dengan Negara-negara Pakta Warsawa yang berkiblat pada Sosialisme-Komunisme dengan panglimanya Uni Sovyet (USSR), pun tetap pada akhirnya berujung pada pertarungan hegemoni demi kepentingan penguasaan global. Situasi dan kondisi ini yang mendorong mereka untuk segera menyesuaikan diri terhadap arah perubahan global. Semula yang tadinya menggunakan pendekatan politik dengan strategi penggunaan kekuatan militer untuk menduduki wilayah jajahan, berubah menjadi pendekatan ekonomi dengan strategi penggunaan kekuatan kapital untuk menguasai –tanpa harus menduduki– wilayah jajahan. Ini yang kemudian lebih dikenal sebagai Neo Kolonialisme-Imperialisme (NEKOLIM). Dalam hal ini harus diakui bahwa ditengah terpuruknya Eropa akibat Perang Dunia II, Amerika Serikat memiliki keunggulan dalam memegang kendali dan peranan utama sebagai inisiator terbentuknya fondasi sebuah tatanan ekonomi internasional yang bertujuan untuk terus memperluas wilayah jajahan tanpa harus menduduki. Ada dua mekanisme utama yang dikembangkan oleh Amerika dalam hal ini, yakni sistem Bretton Woods dan Marshall Plan. Dari pertemuan yang diadakan pada tahun 1945 di Hotel Mount Washington, Bretton Woods, New Hampshire, USA; sistem Bretton Woods dilahirkan dengan tujuan untuk menyediakan kerangka institusional bagi sebuah tatanan ekonomi liberal yang diinginkan oleh para kapitalis Amerika. Selain itu, pertemuan tersebut juga memutuskan untuk membentuk “korporasi trans-nasional” dan “lembaga trans-nasional” yang bernama World Bank dan IMF. Pertemuan itu juga mensyaratkan adanya perubahan standar nilai tukar mata uang dunia dari Gold Standard (standar emas) menjadi US Dollar standard (standar Dollar Amerika Serikat). Tugas utama World Bank diawal berdirinya adalah untuk membantu pembangunan dan rekonstruksi teritori para anggota Bank Dunia dengan memfasilitasi investasi kapital untuk tujuan produksi. Sedangkan IMF bertugas untuk merekonstruksi dan menjaga sistem moneter internasional. Kedua badan dengan masing-masing tugas tersebut dipandu oleh sebuah skema perencanaan yang bertujuan agar supaya terjadi kesamaan dan kesatuan pandang di antara para pengambil keputusan dalam persepsi maupun pembuatan kebijakan. Skema perencanaan inilah yang lebih dikenal sebagai Marshall Plan. Marshall Plan juga dimaksudkan untuk memberi kemungkinan bagi mereka dalam mengelola perekonomian dunia paska perang pada basis komitmen bersama bagi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas tinggi. Dari sinilah berawal sistem perencanaan proyek pembangunan di Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang meletakkan peran utama Negara sebagai pendorong utama perubahan dengan mengandalkan ketergantungan pada dana bantuan institusi keuangan internasional. Maka tentunya tidak mengherankan apabila pemimpin-pemimpin Negara dunia ketiga seperti Soeharto dan Marcos mampu mempertahankan kekuasaannya dalam waktu lama. Pemimpin-pemimpin otoritarian seperti ini dihadirkan sebagai alat untuk melayani kepentingan mereka –Negara-negara Kapitalis AS, Eropa dan sekutu-sekutunya–. III. Masa Posmo Kolonialisme-Imperialisme Perkembangan yang terjadi paska kelahiran Bretton Woods dan Marshall Plan makin menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan bagi Negara-negara Kapitalis Amerika dan Eropa. Tercatat berbagai organisasi sayap pendukung bermunculan untuk melengkapi dan menyempurnakan agenda penguasaan global seperti antara lain World Trade Organization (WTO) yang dilahirkan dalam pertemuan Uruguay Round (Putaran Uruguay) pada tahun 1994 dimana Indonesia salah satu dari 140 negara (sampai 30 Nopember 2000) yang telah meratifikasi hasil putaran Uruguay melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization. Hasil perundingan Putaran Uruguay secara garis besar terbagi dalam empat bagian yaitu : perluasan akses pasar, penyempurnaan aturan main, penyempurnaan institusional dan beberapa isu baru. Isu baru yang dimaksud adalah perjanjian di bidang jasa (GATS-General Agreement Trade in Services), perjanjian yang mengatur hak atas kekayaan intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPS-Trade Related of Intellectual Property Rights), dan perjanjian investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMS-Trade Related Investment Measures). Belum lagi tak terhitung organisasi-organisasi yang ditukangi oleh gerakan rahasia Freemasonry Yahudi dengan kemampuan lobby internasional yang sangat konspiratif mampu memberikan pengaruh yang kuat terhadap kebijakan luar negeri Negara-negara maju khususnya Amerika Serikat. Tercatat antara lain World Economic Forum yang pada tahun 1996 mengadakan pertemuan di Davos, Swiss. Ada lima issue yang menjadi rekomendasi utama dalam pertemuan itu, yakni : KKN, HAM, Demokratisasi, Gender dan Liberalisasi Perdagangan. Kelima issue tersebut harus segera disosialisasikan untuk menjadi issue global demi memuluskan agenda-agenda penguasaan global (globalisasi). Meminjam ucapan Hans Peter Martin dan Harald Schumann dalam bukunya The Global Trap: Globalization and the Assault on Democracy and Prosperity, “Globalisation is not a ‘natural’ process, but one ‘consciously driven by a singleminded policy’ “. Presiden Amerika Serikat George Bush Sr. pada tanggal 11 September 1991, tepat 10 tahun sebelum terjadi peristiwa aksi terorisme dengan hancurnya WTC, dalam pidatonya di depan Kongres Amerika dengan tegas telah menetapkan adanya keinginan untuk membangun tatanan The New World Order. Pada tahap ini, bangunan tata sistem serta struktur ekonomi politik internasional yang dibangun oleh Amerika dan sekutu baratnya makin menghegemoni dunia, terutama setelah hancurnya blok Komunisme-Sosialisme dengan diawali oleh gerakan Glasnost-Perestroika di Uni Sovyet dan hancurnya tembok Berlin yang kemudian berkembang menjadi guliran bola salju mendorong terjadinya proses Balkanisasi yang menghantam Negara-negara Eropa-Timur dan semenanjung Balkan. Gelombang besar perubahan peta politik dan ekonomi dunia yang terjadi bukanlah sebuah keniscayaan yang muncul begitu saja secara kebetulan. Semua perubahan yang terjadi ini tetap dalam sebuah Grand Design dan Grand Scenario dari Kapitalisme Amerika dan sekutu baratnya yang kemudian dikenal sebagai “turbo-capitalism”. Secara politik, jangan pernah dilupakan betapa besarnya peran United Nations (PBB) sebagai organisasi boneka yang bermarkas di Amerika dalam ikut memuluskan agenda-agenda kepentingan mereka. Dalam operasi-operasi penggelaran kekuatan militer yang dilakukan atas nama PBB, Dewan Keamanan PBB masih tergantung pada hak Veto yang dimiliki oleh sejumlah Negara maju. Ini makin membuktikan bahwa organisasi yang menjadi tempat berhimpunnya seluruh Negara-negara di dunia dimana seharusnya menjunjung tinggi asas kesetaraan atas dasar persamaan kedaulatan setiap negara, nyata-nyata dibawah kendali mereka, primus inter pares, the first among equals. Dengan tercapainya keberhasilan dalam membentuk bangunan tata sistem serta struktur ekonomi politik internasional, maka tinggal selangkah lagi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan terciptanya penguasaan global secara total. Pada tahap inilah kembali terjadi perubahan pendekatan dari yang semula menggunakan pendekatan ekonomi dengan strategi penggunaan kekuatan kapital untuk menguasai –tanpa harus menduduki– wilayah jajahan, berubah menjadi pendekatan budaya dengan strategi penggunaan kekuatan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk melakukan social engineering –kalaupun tidak bisa dikatakan sebagai proses cuci otak dan indoktrinasi secara halus dan sistematis– terhadap masyarakat di wilayah jajahan. Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai Posmo Kolonialisme-Imperialisme atau sering pula disebut sebagai Imperialisme Budaya. Pada 14 Juni 1992, hanya enam bulan setelah pertemuan World Bank/IMF di Bangkok, PBB menggelar Conference on Environment and Development (Earth Summit) yang dilselenggarakan di Rio de Janeiro dimana untuk pertama kali Agenda 21 diungkap sebagai kitab suci terbaru yang harus diimani oleh seluruh umat di dunia. Lebih dari 900 halaman terbagi dalam 4 bagian dan 40 bab yang terdapat dalam Agenda 21 berisi tentang rencana aksi yang menyeluruh atas bagaimana seharusnya dunia di masa depan. Sebanyak 179 negara memilih untuk mengadopsi program tersebut yang kemudian mengejawantahkannya dalam bentuk pogram Millenium Development Goals (MDG). Inilah blueprint Imperialisme Budaya terbaru yang disusun oleh konspirasi Posmo Kolonialisme-Imperialisme untuk mewujudkan Novus Ordo Seclorum, The New World Order. Yang perlu digarisbawahi dalam mencermati perubahan pola pendekatan yang terjadi, setiap tahapan perubahan pendekatan tidak berarti menegasikan pendekatan yang dilakukan sebelumnya sebagai sebuah opsi pilihan. Namun lebih pada menempatkan pilihan skala prioritas mana yang lebih didahulukan dengan berbagai varian kombinasinya mengingat ini juga sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi obyek wilayah jajahan yang memiliki karakteristik serta tingkat kesulitan berbeda-beda. Dalam strategi pendekatan budaya melalui proses social engineering, Ø Target yang dituju adalah langsung pada manusia yang nantinya diperankan, difungsikan dan diposisikan sebagai obyek yang akan mengisi bangunan tata sistem dan struktur ekonomi politik dunia yang sudah lebih dulu dipersiapkan. Ø Sasaran yang ingin dicapai adalah untuk merubah tata nilai, budaya, sikap perilaku, sistem dan struktur dari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di wilayah jajahan; agar berorientasi pada tata nilai, budaya, sikap perilaku, sistem dan struktur dari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diingikan dengan corak kapitalistik dan konsumtif. Ø Tujuan jangka pendek 1. Menjaga keunggulan posisi dengan memelihara bangunan tata sistem dan struktur ekonomi politik dunia yang sudah tercipta. 2. Menuntaskan penguasaan teritorial dunia atas wilayah-wilayah yang belum sepenuhnya dikuasai secara mutlak –seperti yang telah terjadi pada Afghanistan dan Irak dengan target berikutnya adalah Iran dan Korea Utara, (Indonesia ?)–. 3. Mengurangi peran Negara di wilayah jajahan secara perlahan-lahan dengan mengatasnamakan Demokrasi. Artinya, ketika civil society menguat maka state akan melemah. Dengan demikian, kekuatan modal atau capital pada akhirnya yang akan mengatur kebijakan Negara atas nama mekanisme pasar yang pada dasarnya dikendalikan oleh kaum pemilik modal. Peran dan posisi negara dalam hal ini pemerintah, tidak lebih hanya menjalankan peran administratif ketatanegaraan saja. Ø Tujuan jangka panjang adalah membentuk Tata Dunia Baru – The New World Order, melalui penciptaan Regional Economies (zona-zona ekonomi regional) yang nantinya akan tergabung dalam United State of e-Global System (Federalisme Global) dibawah kendali Cyber-Capitalism. Pada awal proses berlangsungnya, untuk menghindari resistensi serta agar memberikan pencitraan kepada penduduk wilayah jajahan bahwa yang mereka lakukan adalah mission-sacréé, maka wacana KKN, HAM, Demokratisasi, Gender dan Liberalisasi Perdagangan menjadi basis standar moral yang digunakan sebagai kemasan untuk melegitimasi setiap tindakan taktis yang mereka lakukan dalam upaya proses social engineering. Walaupun pada prakteknya sering kali mereka juga menggunakan standar ganda sepanjang itu menguntungkan kepentingan mereka. Seiring dengan laju kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan maka kompleksitas persoalan yang dihadapi menuntut juga adanya langkah-langkah pendekatan politik dan ekonomi yang lebih komprehensif sinergis dengan proses social engineering yang sedang dilakukan. Untuk itu, selain wacana tersebut di atas yang digunakan sebagai basis standar moral, dituntut pula adanya basis standar intelektual berupa kerangka teoritis yang sengaja diciptakan untuk memberikan legitimasi ilmiah akademis atas proses yang sedang berlangsung. Tercatat sejumlah “nabi-nabi baru” ilmu pengetahuan dimana karya-karya pemikirannya seringkali dikutip sebagai referensi akademis sekaligus jebakan intelektual bagi cendikiawan-cendikiawan di Negara-negara wilayah jajahan (Negara-negara berkembang dunia ke-3) seperti antara lain : + Francis Fukuyama, karyanya : The End of History and The Last Man Trust + Samuel P. Huntington, karyanya : 1. The Class of Civilizations 2. Political Order in Changing Societies + John Naisbitt, karyanya : 1. Megatrends 2000 2. Megatrens Asia : Eight Asian Megatrends That Are Reshaping Our World 3. Global Paradox + Alvin Toffler, karyanya : 1. The Third Wave 2. Future Shock 3. Powershift : Knowledge, Wealth and Violence at the 21st Century + Kenichi Ohmae, karyanya : 1. The Next Global Stage : The Challenges and Opportunities in Our Borderless World 2. The Borderless World, rev ed : Power and Strategy in the Interlinked Economy 3. The Invisible Continent : Four Strategic Imperatives of the New Economy 4. End of the Nation State : The Rise of Regional Economies 5. The Evolving Global Economy : Making Sense of the New World Order 6. The Global Logic of Strategic Alliances + Anthony J Giddens, karyanya : 1. Runaway World : How Globalization is Reshaping Our lives 2. The Third Way : The Renewal of Social Democracy 3. Modernity and Self -Identity : Self and Society in the Late Modern Age + Daniel Bell, karyanya : 1. The end of Ideology 2. The Cultural Contradictions of Capitalism 3. The Coming of Post-Industrial Society + Hans Peter Martin dan Harald Schumann, karyanya : 1. The Global Trap: Globalization and the Assault on Democracy and Prosperity Yang kesemuanya seolah-olah berisi tentang berbagai analisis dan teori-teori baru mengenai perubahan-perubahan dunia yang sudah terjadi, sedang berlangsung dan yang akan datang. Keseluruhan karya-karya tersebut dicitrakan sebagai nubuat-nubuat yang membawa doktrin-doktrin kebenaran baru tentang bagaimana seharusnya masa depan dunia. Ilustrasi yang tepat atas itu mungkin bisa dilihat dari kejadian pemboman yang menyebabkan hancurnya gedung WTC di New York oleh kelompok fundamentalis Islam yang mengaku bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Hal ini membuat AS justru mendapatkan legitimasi dan justifikasi untuk melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak atas nama peperangan melawan terorisme –sesuai dengan apa yang “diprediksi” oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Class of Civilizations yang menyatakan bahwa paska hancurnya komunisme dengan runtuhnya Uni Sovyet, maka yang akan menjadi ancaman berikutnya terhadap kepentingan barat adalah islam–. Walhasil, ladang-ladang minyak berikut jalur pipa distribusi minyak di kedua Negara tersebut sekarang sudah menjadi milik AS dengan “dukungan dan restu” dari pemerintahan boneka yang diciptakannya di kedua Negara tersebut. Kendati demikian, apabila dicermati lebih jernih dan lebih teliti serta di-elaborasi secara mendalam dengan menggunakan kejernihan pikiran dan logika akal sehat yang kontemplatif serta dituntun oleh budi nurani kemanusiaan yang imanen dan transendental, sesungguhnya kita akan menemukan bahwa karya-karya tersebut ternyata lebih jauh berisi tentang Blue Print lengkap Manual Instruction yang akan dilakukan terhadap masa depan dunia sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Dengan menggunakan logika terbalik, maka tidaklah mengherankan apabila setiap langkah dan tindakan apapun yang mereka lakukan dalam menjalankan berbagai pilihan strategi pendekatan dengan berbagai perubahan varian kombinasinya, menjadi terjustifikasi serta terlegitimasi secara ilmiah dan akademis oleh landasan kerangka teoritis yang justru memang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Jadi apa yang seolah-olah ditulis dalam buku-buku tersebut sebagai Future Analysis sesungguhnya adalah Hidden Agenda (rencana-rencana tersembunyi) yang saat ini by design sedang berproses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar