Minggu, 04 Maret 2012

Opini tentang opini

Dialegorikan dalam sebuah buku klasik karya seorang filsuf Yunani, bahwa fakta dan opini itu ibarat realitas dan bayang-bayangnya yang terpantul di gua. Kalau yang satu adalah fakta atau ‘episteme’ yang riil, maka selebihnya hanyalah opini, atau ‘doxa’ yang tidak lain hanya bayangan realitas. Fakta langsung cenderung lebih dipentingkan daripada opini. Opini cenderung dianggap sekunder, relatif kurang penting ketimbang fakta. Opini kamu dan saya tentang opini itu sendiri, tidak jauh beranjak dari sini–sebagaimana pandangan Plato berabad-abad lalu dalam bukunya tersebut, Dan esei singkat ini bukan tentang fakta, melainkan tentang opini. Sebab di dunia modern, ketika sains telah berhasil menguak begitu banyak fakta empiris dan menggeser batas-batasnya semakin jauh dan terbuka, kebenaran faktual hampir tidak perlu perlu didebat atau diperdebatkan lagi. Ini, mungkin, manfaat terpenting sains. Namun di sisi lain, perkembangan sains tetap tidak menggusur opini ataupun menggerus signifikansinya. Bagaimana opini itu terbentuk kini bahkan menjadi bahan kajian ilmiah atau, setidaknya, semi-ilmiah. Menyatakan bahwa yang berlaku sekarang ini justru kebalikan dari pandangan di atas, kadang tidak berlebihan. Opini seringkali lebih superior dan penting daripada fakta. Pertarungan abadi antara kebenaran dan kebatilan, antara kebaikan dan kejahatan, sesungguhnya lebih berlangsung pada tatanan ini daripada tatanan fakta. Sekali lagi, terkait fakta alamiah, ada ilmu pengetahuan alam yang membantu penerimaan. Sementara itu “The real battle,” kata Ludwig von Mises dalam “occurs in the mind.” Dapat kita konkretkan di sini: pertempuran sejati berlangsung di dunia gagasan. Bolehlah kita konkretkan lagi, bahwa: sebagian besar pertarungan adalah pergumulan “teori” yang dalam kajian ilmu sosial tidak jarang menciut menjadi sekadar pergumulan satu opini dengan opini lainnya. Pernahkah terpikir olehmu bagaimana opinimu terbentuk atau bagaimana kamu memilih opini? Ketika kamu tidak punya opini tertentu tentang satu hal, bagaimana kamu memilih satu opini dari yang lain? Apa yang kamu perlukan sebelum, misalnya, bersedia mengubah opini lamamu dengan yang baru? Yang juga penting, seberapa jauh peran media dalam memberimu informasi? Dan yang terpenting, seberapa jauh kamu bersedia menggali informasi tersebut untuk membentuk dan menguatkan atau bahkan membuang opinimu? Di persimpangan alinea ini saya ingin mengajak kamu menyikapi resensi sebuah buku. Peresensi buku tersebut telah melakukan tugasnya dengan baik. Sang penulisnya, Naomi Klein, memang menghujat segala kebijakan pro-pasar. Adalah tujuannya membahas keterkaitan bencana, kondisi keterkejutan (shocked), dan kebijakan ekonomi pro-pasar. Kata sebagian orang, selalu ada dua sisi dari setiap hal. Dan kata sebagian lagi, satu sisi tentunya memiliki sebagian kebenaran, sementara sisi lain memiliki kebenaran lainnya. Namun, saya tidak menerima kebenaran seperti itu. (Tentang Keberpihakan Intelektual), kebenaran tidak bisa hadir secara bersamaan untuk dua hal yang kontradiktif.Dalam hal-hal yang kontradiktif, sebagaimana hal-hal terpenting dalam kehidupan, tidak ada yang separuh-separuh. Yang satu pasti mengecualikan yang lain. Dalam konteks tersebut hanya ada kesalahan atau kebenaran; orang tidak dapat separuh benar tetapi separuh salah sebagaimana kita tidak bisa separuh hidup atau separuh mati, melainkan hanya hidup atau mati. Esei ini tidak bermaksud menggiring kamu ke opini tertentu. Tujuannya sekadar mengajak kamu dan saya untuk melakukan zeroing in; untuk kembali ke titik keseimbangan baru yang–mudah-mudahan–lebih tinggi, sambil menanggalkan (atau justru merangkul) apa-apa yang selama ini mungkin telah kita telan (atau tolak) bulat-bulat tanpa kita periksa secara lebih saksama. Dalam hemat saya, kamu dan saya akan sama-sama tidak mampu menjatuhkan penilaian terhadap seberapa sahihkah serangan , jika kita tidak memiliki akses kepada teori ekonomi atau minimum perkembangan pemikiran ekonomi untuk memverifikasi kebenaran tuduhan/tudingan yang pernah ada. Kapankah hubungan antara fakta dan opini di atas menjadi berbalik? Bilamanakah opini justru lebih penting daripada fakta ? Bagaimana hal itu dimungkinkan? Barangkali ini termasuk misteri yang, jika dijelaskan, hanya akan berakhir sebagai rangkaian opini. [Meski demikian, jawabannya dapat kamu jumpai di manapun kamu berada. Pembentukan dan penerimaan opini sepertinya juga tidak luput dari selubung misteri. Tidak berbeda halnya dengan misteri kehidupan tentang adanya jenius lokal yang tetap mampu tumbuh di lahan-lahan yang secara intelektual tergolong tandus. Tidak berbeda dengan misteri yang mengelilingi dunia pendidikan dan hubungannya, yang tidak pernah niscaya, dengan keintelektualan seseorang. Di bagian ini saya ingin mencoba menjustifikasikan seberapa pentingnya nilai opini dalam kehidupan. Bahwa opini seringkali lebih penting dari fakta, sebenarnya cukup jelas. Terkait tulisan yang sedang kamu singgahi ini, pernah saya menulis kepada seorang teman. Kalau “perabotan berpikirmu” tertata sedemikian rupa, tulisan ini berpotensi menjadi bacaan yang menarik bagimu, bahkan penting. atau sebaliknya, jika tertata secara lain, kamu pasti tidak bakal tahan mengunjunginya tanpa ‘nausea.’ “Perabotan berpikirmu” di sini boleh diartikan sebagai konstruksi logis/sikap kamu, atau boleh juga konstelasi opinimu itu sendiri. Saya tentunya sangat berharap agar opini kamu telah–atau suatu saat dapat menjadi–”tertata sedemikian rupa”. --Syndikat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar