Sabtu, 10 Maret 2012
Bukan Musim Durian
Malam Tak Berujung
Muhammad Afandi - Ojudista
Musim durian telah tiba, biasanya akan membanjiri pasar-pasar tradisional di pinggiran kota Medan hinggah Supermarket Ternama di penghujung Agustus. Dan jika kita tidak ingin bermalas diam diri di rumah atau sibuk memburu barang-barang baru di Mall, maka kita bisa memacu sepeda motor dengan pasangan tercinta ke arah dataran tinggi menuju perbatasan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Tanah Karo, di sepanjang jalan akan tampak buah durian di gantung dengan tali berbahan plastik dalam gubuk-gubuk kecil yang akan disandingkan dengan buah-buah segar lainnya dan tentu saja akan dengan tiba-tiba kita akan menginjak rem sepeda motor untuk segera menawar dengan harga yang fantastis.
Mencicipinya langsung di tempat akan menambah kenangan manis semanis rasa buah yang tak pernah menipu dengan label buah organik, atau dengan niat tulus untuk dibawa pulang agar calon mertua dapat memberikan jalan mulus bagi hubungan yang sebenarnya tidak pernah diinginkan untuk berakhir di sebuah pelaminan. Mulai dari harga sepuluh ribu dengan berat 2.5 kilo gram hinggah seratus ribu dengan ukuran jumbo dan berat hampir sama dengan 24 kaleng susu yang diisi beras. Buah berduri itu memang sering dipadukan dengan minuman tradisional yang bernama tuak berbahan nira ataupun kelapa, tentu saja mulutmu akan berbau busuk jika meminumnya terlalu banyak, apalagi ocehanmu dimulai dari urusan dapur, cicilan sepeda motor, kejengahan akan monotonnya hidup, dan sesekali memunculkan ide untuk melempar Molotov ke kantor-kantor yang di depannya berdiri tegak tiang diatasnya terpasang kain berwarna merah putih. Lapo tuak terlihat padat dengan berjubelnya manusia dari segala usia. Jika sudah dicampur dengan durian, tuak akan menjadi lebih kental berwarna putih laksana sisa cucian air beras. Aromanya menjadi lebih khas. Letihmu akan hilang jika hati ke hati sesama peminum tuak dipadukan dengan jiwa yang bebas daan merdeka.
Tidak tahu pastinya, tapi jika diingat di pertengahan Agustus 2006, kami berempat yang telah kenal dan bersahabat dari tahun 2000 diajak oleh seorang teman bernama Sofi ke sebuah kampung yang bernama Tungkusan. Aku, Ju, Sa dan Nu tiba di kampung kecil yang gelap itu selepas waktu isya. Sewaktu membuka kaus kakiku, aku mencium aroma buah berduri itu, pasti ada durian di dalam rumah ini. Perkenalan singkat pun dimulai, kuperkenalkan namaku dengan nama yang memang tak ada sedikitpun mirip dengan nama asliku. Tuan rumah menceritakan masa lalunya dengan nada yang terputus-putus. Sebatang rokok kubakar perlahan, Sa mengeluarkan mancis pertanda bahwa dia juga seorang perokok. Ju dan Nu menungguku untuk membuka plastik pembungkus, ya karena rokok itu baru saja kubeli. Bapak itu bercerita sangat pelan, matanya menatap tajam ke arah jalan, yang terlihat samar dari tempat kami berkumpul dengan jaring-jaring kawat sebagai penutup terasnya. Tungkusan bukanlah sebuah desa, melainkan sebuah dusun kecil yang berpenghuni tak lebih dari 200 KK, setengah penduduknya tinggal di rumah-rumah dengan ukuran yang sama dan berbentuk yang juga sama, rumah-rumah perkebunan untuk kelas pekerja dari golongan yang paling rendah.
Di seberang jalan tumbuhlah sangat rimbun dengan jumlah 100 pohon per hektarnya tanaman dengan nama kelapa sawit, tanaman yang di idolakan sebagai sumber devisa bagi Negara, tapi itu salah, yang kutahu itu tanaman yang kuberi julukan sebagai monster, karena penyerap air paling tinggi, hinggah jangan berharap akan tumbuh tanaman tumpang sari di sekelilingnya, jikapun tumbuh tetap saja tak se subur yang diharapkan. Kelapa sawit merupakan tanaman idaman bagi puluhan orang yang dikategorikan sebagai orang terkaya di Indonesia bahkan Asia sebagai tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, apalagi jika mengantongi konsesi dengan luas ribuan hektar. Minyak bumi bakal habis, maka agama baru yang bernama global warming segera didengungkan, pelaku usaha yang bergerak di bidang biofuel akan segera mendapat legitimasi, dan memindahkan bisnisnya ke jenis tanaman ini. Pengalihan isu dari bisnis minyak yang terbatas segera dialihkan ke bisnis bahan bakar alternative yang bersumber dari jenis tanaman ini.
Jika kamu berjalan lurus melewati perkebunan sawit tersebut, bertemulah kamu dengan sebuah sungai yang bernama Sei Bahasa. Pada masa dulunya, ada sebuah kerajaan kecil dibawah wilayah kekuasaan Kesultanan Deli yang bernama Kerajaan Bahasa, tak kurang dari 4 kilo meter kita akan menemukan sisa kerajaan bahasa tersebut. Dan jika kamu berjalan ke arah kiri hingah 6 kilo meter dari rumah yang kami diami, sampailah kita di sebuah dusun yang bernama Sinembah. Jika kita membuka kembali buku sejarah perkebunan di tanah Deli maka kita akan teringat sebuah perusahaan Senembah, dimana terdapat 15 perkebunan tembakau di Deli yang dimiliki perusahaan Senembah pada tahun 1889, mungkin dusun sinembah diambil dari nama perusahaan tersebut. Tentu saja kita tidak akan melupakan seorang pahlawan nasional beraliran kiri dengan gagasan Madilognya pernah menjadi guru untuk kuli perkebunan di perusahaan Senembah tersebut pada tahun 1921 atas tawaran direkturnya Dr. C.W. Janssen.
Aku, Sa, Ju dan Nu beserta Sofi tetap setia mendengarkan cerita Tuan rumah, hinggah kami paham bahwa ada sebuah konflik di dusun tersebut, yang melibatkan 4 dusun lainnya. Tahun 1954, Tanah seluas 922 Ha dengan nama tanah Suguhan diberikan oleh negara kepada masyarakat yang dibagi menjadi 2 nama, Persil IV dan V. 525 Ha untuk Persil IV dan sisanya untuk Persil V. Hak mereka untuk mengelolah tanah tersebut dijamin oleh Negara yang selanjutnya diatur dalam undang-undang pokok Agraria tahun 1960. Tempat kami malam itu tepatnya di Persil IV. Tanpa ada isyarat apapun dalam rezim selanjutnya pada tahun 1972 mereka dipaksa untuk menyerahkan tanah meraka tanpa ganti rugi apapun.
Sebagian harus lari keluar dari desa, dan sebagian tetap bertahan di gubugnya untuk melihat tanaman mereka dibabat dan dibakar, dan segerombolan tentara dengan mata memerah berteriak “Jangan macam-macam dengan Negara”,. Tanaman siap panen yang akan menjadi tabungan untuk melanjutkan sekolah sang anakpun harus direlakan dibakar. Jika kamu melawan maka cap PKI akan ada di dirimu selamanya. Ya, tepatnya pada tahun 1970, Negara dengan gencarnya melakukan penyulapan, menyediakan lahan secara besar-besaran untuk akumulasi modal dalam bidang perkebunan Kelapa Sawit.
Kami berlima diam seribu bahasa mendengar cerita dari sang Tuan rumah, bau durian yang mengendap di kepalaku berubah menjadi bau kaus kaki yang lupa kuganti selama 6 hari. Tapi sang tuan rumah justru masuk ke dalam rumah, kami berbisik tak tentu arah saat ia pergi. Ia kembali dengan sebuah pisau pendek. Kalian doyan durian ? Yang membuatku bingung ia menawarkan durian tapi buah itu tidak tampak di depan kami, hanya pisau pendek yang ia letakkan di atas meja. Aku tak tahu Goni Putih yang berjarak 4 meter di belakang kursi tuan rumah berisi durian. Dengan lagak yang sok pintar aku menolak tawarannya untuk dibelahkan duriannya. Aku pun mulai mencari ujung buah berduri tersebut, ku congkel dengan potongan yang menyilang. Kumasukan jariku ke lubang ujung yang telah kubelah dengan pisau. Kutarik sekuat tenga dengan harapan buah akan terbuka. “Bukan begitu caranya anak muda”. Tanpa berpikir panjang kuserahkan buah tersebut kepadanya. Dalam hitungan 25 detik buah tersebut telah terhidang di depan kami.
Malam itu kami berkelakar, lupa waktu. Entah kenapa setelah kami menghabiskan 5 buah berduri itu, kami seperti darah tinggi. Di atas tanah tersebut beberapa kaum perempuan telah jatuh tersungkur di tahun 2005 karena ditabrak traktor yang dikawal oleh polisi disaat mereka melakukan pendudukan lahan di tanah berdarah tersebut. Sejak tahun 1972 hinggah sekarang di atas tanah tersebut disebut sebagai tanah berdarah. Tanaman diatasnya yang diklaim sebagai asset Negara telah terbukti bukan sebagai asset Negara karena pada tahun 1999 muncul sebuah keputusan dari sebuah Badan yang berhak untuk melakukan pengukuran atas tanah menyatakan bahwa itu bukan tanah yang Berhak Guna Usaha, maka klaim sebagai tanah yang ber Hak Guna Usaha dan Aset Negara menjadi gugur. Beberapa kaum laki-laki diatas tanah tak bertuan tersebut jatuh dan bergelimang darah. Menahan luka hinggah sekarang. Sebuah keputusan kami ucapkan dengan singkat di malam itu “Kita jangan menyerah”.
Pembicaraan lanjutan di sebuah rumah kecil kota Medan menghasilkan beberapa hal yang harus ditindak lanjuti, dalam sebuah rapat diambil sebuah keputusan penting. Semua program kemahasiswaan dalam organisasi dibatalkan dan akan diganti dengan sebuah program baru di tanah Persil. Malam-malam dilalui dengan sebuah kordinasi antar dusun. Motor akan berhenti tiba-tiba untuk sampai di sebuah dusun Batutak, bagian dari 5 dusun dalam Persil IV karena tanah merah yang sebelumnya diguyur hujan akan menempel di sela-sela bodi-bodi motor. Dan Kamu akan ditimpah dengan dua pilihan, menuntun motor dengan berat hinggah sampai ke dusun Batutak atau kembali lagi ke Posko utama dengan konsekuensi rapat yang gagal. Dan sesekali kamu harus berhadapan dengan kondisi ban bocor kemudian bingung akan menambal dimana. dan bersiap-siaplah akan berhadapan dengan hal-hal aneh, yang tak pernah kamu pikirkan sebelumnya.
Dalam sebuah bentrokan kecil di sebuah kantor pemerintah, berujung dengan penangkapan. Kembali lagi ke tanah Persil dengan ancaman ratusan pasukan bertopeng yang disewa oleh perusahaan yang merampas tanah masyarakat. Dan tepatnya di tahun 2008 kami berkunjung ke desa seberang untuk sekedar menghadiri sebuah undangan informal. Sajian minuman tradisional yang memabukkan membawa kami dalam sebuah perjalanan pulang yang menyesatkan, melewati hutan persawitan, yang konon di suatu tempat di tengahnya terdapat sebuah markas pasukan bertopeng yang tidak segan-segan akan menombakmu dengan benda tajam yang beracun. 2 jam kami berputar tanpa arah. Ya telah 2 tahun kami tinggal di kampung tersebut. Bukan sebuah kisah heroic yang berharap sesuatu hadiah tanah surga. Tapi kami harus berjalan selama 6 jam mengelilingi lahan konflik tersebut dengan mulut tertutup dan segala atribut yang bermuatan simbolik.
Pada tahun 2009 sebuah jembatan menjadi sebuah saksi bisu, ratusan orang bayaran dengan senjata tajam ada di seberang jembatan. Kami bersama warga menunggu sebuah isyarat untuk mendengar sebuah lonceng perang. Jika lonceng itu dipukul maka sah pertempuran akan dimulai. Dari balik semak-semak terlihat jelas dari kejauhan 100 meter, sekelompok orang dengan topeng memegang senjata tajam. Membawa suatu dendam, dan pada malam di pertengahan ramadhan kami berempat mempersiapkan sesuatunya dengan hitungan yang matang. 2 botol berisi bensin dengan sumbu yang basah kami sulut dengan mancis dan dilempar dengan pasti ke sebuah rumah yang menjadi kantor bos pasukan bertopeng. Dilanjutkan dengan sebuah perjamuan dirumahku untuk sahur dan memukul bola dalam meja biliyard.
Tapi aku harus menerima sebuah pengalaman pahit, salah satu dari kami akhirnya bekerja dan mejadi komandan regu diantara pasukan bertopeng tersebut. Sebuah senyum kematian telah terpatri sejak itu. Setelah pertemuan mendadak di malam itu, aku harus segara pulang kerumah. Karena esok lembar jawaban harus kuisi dengan dalil-dalil hukum yang menyesakkan dalam sebuah ujian akademik yang harus kuselesaikan. Kupacu sepeda motorku berbahan bakar campur. Aku lupa di depan ada tikungan tajam, ya pukul 1 malam itu mengantarkanku untuk mencium parit kering berumput sedalam dua meter, 2 jam dalam tindihan motor. Ketidaksadaranku dalam pengaruh minuman tradisional tidak bisa membuatku untuk bergerak sedikitpun. Kepasrahanku mengajakku untuk menyebut nama kebesaran Tuhan. Secara tiba-tiba motor yang menindihku dapat kusingkirkan secara perlahan. Akhirnya aku bisa merogoh telepon genggamku untuk menghubungi salah seorang teman di posko. Dalam hitungan 10 menit akhirnya kami berusaha untuk menarik motor yang terperosok di parit tersebut.
Dua kali sudah pertemuan besar dilakukan untuk merefleksikan, mengevaluasi, dan menyusun strategi. Baru kami sadari telah 4 tahun kami disana. Dalam sebuah bentrokan yang tidak seimbang di pertengahan April, 1 orang pergi untuk selamanya ke taman Firdaus.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar