Sabtu, 10 Maret 2012

Bukan Pulau Pangkatan

Muhammad Afandi - Ojudista Setumpuk buku telah disusunnya rapi, duduk melingkarpun telah bubar dengan kesepakatan yang ditulis dalam catatan-catatan pribadi. Ia segera membasuh muka dan menyikat giginya yang tanpa sadar telah melukai gusi hinggah air kumurnya yang biasa putih menjadi sedikit kemerahan. Tangan memegang erat tembok, kakinya berusaha kuat untuk menahan badan, dan akhirnya ia dapat duduk diatas genteng menatap langit dengan tebaran bintang yang tidak pernah dihitung selesai sampai pagi menjemput. Tembakau bercampur daun dari negeri Serambi pun dibakar, dihisap perlahan, sesekali ditelannya, cara yang biasa dilakukannya di saat malam ketika berada di Jalan Timor. Pukul 10 pagi Ia sudah bersiap untuk bergegas ke kampus, lontong sayur Buk Ani sudah menanti di warung luar pagar kampus, “kemana aja ndi, udah lama gak keliatan?”.. Masih di planet bumi aja kok buk, hehe,,, ada kegiatan ama kawan-kawan buk, Candanya”.. rasa kantuk menyerang beringas, saat sang dosen menerangkan transformator bekerja. Selepas magrib mereka bertiga duduk lurus menghadap sebuah kereta api bisnis, tas ransel yang berjumlah 4 mereka angkut kedalam, Ia membakar sebuah rokok kretek dan hampir setengah jam selalu melihat ke arah jendela, menghitung tetesan air yang jatuh di luar jendela kereta karena hujan mulai datang setelah 10 menit kereta beranjak dari stasiun, Si Im dan Si Ac sadar bahwa Ia ditekuk keletihan dan malas untuk mengganggunya selama perjalanan menuju arah Timur. Tepat pukul 5 pagi mereka sudah di stasiun terakhir, bus kecil menawarkan ke arah Negeri Lama, pukul 7 lewat seperempat Si Im memberi kode untuk pak Supir agar berhenti, air mineral ditumpahkannya, ditampung dengan tangan kanan, dibasuhkan ke muka. Tanah merah menjadi lebih licin dari biasanya karena hujan sepertinya cukup deras tadi malam turun, harus berhati-hati untuk sampai ke pinggir sungai, Bang Regar penjaga rakit menarik talinya agar kami tidak harus melompat untuk sampai ke rakit, arus sungai masih ramah walaupun air lebih tinggi dari biasanya. Ya, harus berjalan lagi setengah jam untuk sampai ke tujuan. Kami harus membagi tim, kami bertiga harus berpencar di 5 dusun yang tak teraliri listrik Negara itu, sembari menunggu kawan-kawan yang lain datang seminggu lagi. 5 dusun, 2 dusun dihuni oleh ber KTP muslim, dan 3 dusun ber KTP non muslim, aku ditempatkan di dusun muslim, tapi ini bukan tetap, akan berubah dalam 3 hari, selebihnya akan ditugaskan ke dusun yang lain. 2 minggu lagi kami akan tumpah ruah di kota Rantau Prapat, mengumumkan bahwa tanah telah dirampas oleh korporasi raksasa yang berinduk nama Sinar Mas, Pangkatan, sebuah desa kecil yang ditempuh dengan 10 jam dari kota Medan, laksana pulau terpencil dan terisolasi hinggah tahun 2002, tapi bukan pulau karena hanya dipisahkan sungai. Dan malam itu, obor digenggamnya dengan tangan kiri, buku catatan dipegang dengan tangan kanan, harus segera sampai sebelum pukul 8 malam, sebelum pertemuan dengan warga dimulai. Ia lupa mengisi minyak, obor padam ditengah jalan, Ia lupa kemana jalan selanjutnya, kakinya terbentur batu, dan Ia segera tahu harus berbelok ke kanan karena batu itu adalah makam kecil yang sering dilaluinya. Semua mempertanyakan kemana jalan menuju kemenangan, bukan jalan menuju keadilan, karena keadilan memang tidak pernah ada. Membicarakan kemenangan lebih menarik daripada keadilan, sama seperti ketika kitab-kitab yang ditafsirkan oleh para sahabat nabi dengan penuh semangat patriarchal, dan kemudian ditelan mentah oleh generasi selanjutnya, kemudian terlembagakan untuk mengamankan pihak yang berkuasa dalam lingkungan kerajaan yang gemar beristri seratus, dan akhirnya menjadi lebih baku ketika Negara mengambil perannnya kemudian mendorong lahirnya lembaga-lembaga dan organisasi fasis dengan jenggot panjang dan mengaku sebagai keturunan nabi, menghalalkan untuk membunuh para warga-warga pinggiran ketimbang membunuh para fasis yang duduk di birokrat atau melempar Molotov di jantung-jantung korporasi yang telah berabad-abad merusak lingkungan. Selanjutnya nilai-nilai patriarchal tersebut digugat, namun masyarakat telah terbentuk dalam sejarah panjang. Kemudian bertemu dalam sebuah ruang baru untuk mempertanyakan dimana keadilan, pasti terjawab dengan enteng berbuah kekecewaan untuk segelintir orang yang mengamini bahwa tulang rusuk sebelah kiri adalah kodrat seorang makhluk hidup tertentu. Dan ia tersesat bahkan tidak berani mengambil keputusan 10 tahun kemudian ketika dihadapkan dengan persoalan sekat-sekat kepercayaan warisan sahabat nabi, 2 kisah yang laluinya berujung dengan lingkar labirin dan membuatnya berlutut untuk tidak mengambil keputusan apapun karena ada wilayah lain yang menurutnya harus dijaga. Tapi setelah dipikir ulang bukan hanya karena persoalan wilayah lain, tapi memang karena orang yang dipilih juga masih berpikir dengan sisa-sisa warisan ajaran sahabat nabi. Mereka bertiga berjalan untuk mendiskusikan hasil catatannya di rakit kecil pinggir sungai pangkatan, berujung pada sebuah malam dengan api kecil di depan posko yang dibakar dari kayu-kayu pungutan ketika pulang dari sungai. Sebuah pesan masuk ke hp Nya yang kuat menangkap sinyal liar, besok kawan-kawan akan sampai. Si Im tak jemu-jemu menghardiknya di malam itu, bahkan Im bingung bahkan bercampur kesal karena logika kiri tradisionalnya berhadapan dengan ide-ide bakunin yang baru saja dipelajarinya. Longmarch 7 kilometer, petani Pangkatan bergabung dengan petani sekitar kecamatan mereka yang bernasib sama, Jalan lintas Sumatera macat. Mereka benar-benar meninggalkan bangku perkuliahan, 2 tahun dilalui tinggal di pangkatan, kembali ke Medan hanya untuk duduk dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian pertengahan dan akhir semester, ataupun mendaki gunung tertinggi di Sumatera Utara kemudian bertemu dengan orang yang berpakaian serba putih di tengah pendakian, tanpa ragu setelah menoleh kebelakang orang tersebut hilang tanpa jejak. Ternyata banyak kawan-kawan mereka yang sebenarnya sama-sama berasal dari kota Medan juga meninggalkan perkuliahan dan hidup di pesisir Timur pantai Sumatera, berteman dengan nelayan tradisional yang berkonflik dengan cukong-cukong bermodal Pukat Trawl, dalam pertemuan yang sudah disepakati akhirnya bertemu dalam sebuah pertemuan di pusat kota kabupaten yang mereka tempati, membicarakan membentuk sebuah koalisi untuk sebuah perhimpunan perjuangan. Sabotase, penyerangan, dan membangun benteng pertahanan adalah topic yang berpuluh kali dibicarakan dalam diskusi koalisi. Campur tangan sebuah NGO akhirnya membuat semangat mereka meredup, mungkin hal ini juga ketidakmampuan mereka mengkemas sebuah konsep perjuangan yang panjang. Satu tahun mereka tak pernah kembali ke pulau yang sebenarnya bukan pulau tersebut, pindah ke sebuah lokasi dalam sebuah pertempuran panjang, melawan kebiadaban korporasi Pulp yang ternyata sama dimiliki oleh perampas tanah di negeri pangkatan, Mobil angkutan umum yang melewati jalan berliku diantara tebing curam tanah batak dinikmatinya dengan hati-hati, dan tiba-tiba saja harus lari sekuat tenaga, menyeberangi sungai dengan sebelumnya diancam oleh letusan-letusan seragam fasis, mengirim pesan ke seluruh kawan-kawan, dan harus satu malam bersembunyi di tengah hutan menunggu kondisi aman untuk kembali ke posko utama, mendapat kabar terbaru bahwa seorang kawan telah tertangkap dan menghabiskan waktunya setahun dalam pengasingan, untuk advokasinya tidak pernah serius ditangani oleh tim advokasi, dalam masa kebebasannya pertama kami dikagetkan dengan teman tersebut bangun di sepertiga malam untuk mengucapkan “Siap Komandan”. Hal ini membuat kami tidak nyenyak untuk tidur dalam masa istirahat selanjutnya. Dalam sebuah perjalanan yang tak kurang dari duapuluh tahun akhirnya korporasi itu tutup dengan mengorbankan puluhan warga tertimbun longsor dan 3 orang tewas teraniaya, Ia kembali membaca kitab yang telah lama ditutupnya, sebuah kitab yang disampulnya berlambang (A), Ia kembali pulang ke tanah kelahirannya, mendirikan sebuah organisasi mahasiswa dengan identitas kedaerahan, berlanjut dengan sebuah keharusan untuk mengulang semester baru perkuliahan di jurusan yang berbeda, disekelilingnya merasa tak yakin bahwa Ia akan menyelesaikannya, 4 tahun Ia bergelut dengan pagi dari pertengahan September 2005 hinggah 2010, pagi yang menjemukan, dan dibayarnya dengan sebuah acara wisuda, dan dinobatkan sebagai wisudawan terbaik untuk semua jurusan. Tapi bukan hanya untuk mengabdi demi wisudawan terbaik, karena Ia selalu gelisah, dan bermain dengan wilayah konflik baru yang tak kurang dari 8 kilo meter dari tempatnya istirahat. Sebuah konflik pertanahan menyedot waktunya setelah pulang kuliah untuk tetap disana, menyampaikan sebuah logika hukum formal yang tak berujung dan membawa arit untuk kembali menyemangati semangat yang tercecer akibat sebuah pertarungan panjang dan membuahkan korban tewas ataupun cacat di ujung tombak atau sabetan golok, ya, sebuah kampung yang disebut sebagai kampung guntang-guntang di tengah himpitan perkebunan sawit, dimana Paklik Melan selalu setia menepati pesanggrahannya sembari melakukan domestifikasi binatang, walaupun akhirnya peternakaannya di sudet habis oleh pasukan bertopeng perkebunan yang di saat malam lengah mereka leluasa mengkelebet ternak milik Paklik Melan. Segelas tuak membuat Ia dan teman-temannya dapat beristirahat dengan sempurna, diberi sebuah bonus mimpi indah dari hasil joinan Ridwan dan Jibril di tengah malam yang syahdu. Pengaharaman akan sesuatu yang bisa membuat mabuk ditendangnya jauh-jauh, karena Ia kesal dengan sejuta ceramah ulama yang hanya mampu membuat dalil-dalil palsu. Tapi Ia lebih kesal disaat mengingat malam di pertengahan ramadhan 2009, dengan 4 orang yang dibentuk dalam sebuah tim penghancur, Ia dan sahabat karibnya bersepakat untuk melempar tiga Molotov ke sebuah kantor yang menjadi mitra perkebunan dan telah merampas tanah warga, namun setelah ledakan dasyat itu yang terjadi justru sahabat karibnya berbalik arah, bekerja sebagai tim keamanan perkebunan. Sebuah perang panjang dalam sebuah pertemuan di meja minuman yang memang tak sempat meledakkan pistol di saku. Ini bukan sebuah kisah Fransisco Sabate Llopart, yang ikut dalam kelompok Gerilya anarkis yang menyerang Catalonia dari markas mereka di Perancis dalam 1936, ataupun kisah Roman Cavdevila yang mampu bertahan lama dalam serangan-serangan mus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar