Sabtu, 10 Maret 2012

Kampung Tengah

( Muhammad Afandi - Ojudista) Menembus kabut yang tebal, dia lari tanpa melihat kebelakang, dan terus berlari dengan tangan yang menggenggam bambu diikat kain hitam yang usang, tanpa senyum dalam jalan yang panjang sesekali berhenti untuk melepas lelah, sesekali sembunyi dibawah bangkai pohon untuk mengintip siapa yang bakal lewat di jalan semak itu. Sudah 4 hari tak makan nasi, hanya madu menjadi penawar lapar yang tergantung di kanan pinggangnya dalam botol kuning berbahan tanah liat. Malam ini terserang demam begitu hebatnya, berusaha untuk duduk bersila sambil mengatur nafas, cara yang diyakininya untuk menetralisir gelombang negatif di dalam tubuh walaupun malam itu baru pertama kali dilakoninya. Jambu monyet menjadi sarapan pagi, rintik hujan jatuh manja di rambutnya yang ikal, dia heran karena ada pohon padi yang baru saja dibabat, menandakan ada kehidupan di depan sana, dicabutnya sebatang, diirisnya ujung batang dan ditekuk sedikit, ditiup akhirnya menjadi not-not minor, kacer hitam yang bertengger di pohon jambu monyet membantunya untuk menjadi not-not mayor yang panjang. Dia tak mau lagi berlari, karena dia yakin di depan ada kehidupan, kakinya diatur untuk tetap berjalan, berdarah, ya berdarah di ujung jempol kaki kanan saat melompati sungai kecil berbatu, menginjak keong kakinya, aku harus segera sampai di kampung itu dan mendapatkan makanan. Dua bocah laki-laki berpakaian serba hitam yang muncul tiba-tiba dari pohon durian bertanya kepadanya, mau kemana Pak ? “Kalian rumahnya dimana” balik bertanya. Di Balik bukit itu pak, jawab bocah secara serentak. Sebelas langkah kedepan dan dia melihat kebelakang, dan kedua bocah tersebut dilihatnya sedang makan rumput. Pemuda itu mencobanya, kedua bocah tersebut memungut giginya yang copot di tanah. Keringatnya mengucur deras, dia lari sekuat tenaga dalam keganjilan. Ternyata benar dari atas bukit tersebut kelihatan sebuah kampung yang melingkar, dengan tergesa-gesa ia menuruni bukit tersebut, “bolehkah saya meminta makanan” ? tanpa ragu ia bertanya kepada seorang perempuan berambut sepinggang yang dijumpainya di pinggir kampung tersebut. Perempuan itu masuk kerumah dengan sigap, menutup pintu sangat rapat. Dua perempuan tua memuncratkan cairan kuning kecoklat-coklatan dari mulutnya, semakin dekat dengan dirinya, “Buk, bolehkah saya meminta makanan” ? Dua lembar daun sirih, secuil pinang diberikan kepada pemuda tersebut tanpa meninggalkan seuntai kalimat. Dengan perasaan yang kecewa ia mulai mempercepat langkahnya, dan membungkus pemberian tersebut dengan kain yang dicopotnya dari bambu kesayangannya. Baru saja duabelas langkah dia dihadang oleh seorang lelaki hitam yang tak berbusana, “Mau kemana kamu anak muda” ? Mau mencari makanan wahai orang tua, jawabnya. Hahahaha….., kamu datang saja kerumahku, nanti kita makan sepuasnya, sambung orang tua tersebut. Dimana rumah kamu wahai orang tua ? Di ujung kampung ini, sebelah kanan sungai, jawab orang tua tersebut. “Kapan saya bisa mendapatkannya” ? Setelah matahari terbenam, datanglah kamu kerumahku.. Menunggu gelap dia mencoba untuk tidur disamping batu kapur disebelah kiri sungai, laparnya yang hebat tetap dia kalahkan, tiga jam ia masuk ke alam bawah sadar dan terbangun karena bambu kesayangannya jatuh menimpa kepalanya, dan gelap tak kunjung datang, padahal ia merasa gelap sudah dekat, malah yang membuat ia tambah bingung karena disekelilingnya tak ada kampung. Kain hitamnya dibuka, ternyata daun sirih dan secuil pinang masih ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar