Sabtu, 10 Maret 2012

Seize The Day: John Zerzan

Perubahan yang sangat cepat dari kehidupan modern lebih buruk dari pada yang dapat kita bayangkan. Metamorfosis semakin menjadi, mengubah tekstur kehidupan, bahkan keseluruhan rasa. Belum begitu lama, hal ini masih berupa modifikasi bagian; sekarang mesinlah yang mengumpulkan kita, merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita, dan tidak ada jalan keluar terhadap logikanya. Kelanjutan yang stabil hanyalah yang terjadi pada tubuh dan hal ini bahkan menjadi sasaran dalam cara belum pernah terjadi. Menurut Ferudi (1997), kita sekarang menganut budaya gelisah yang mendekati keadaan panik. Wacana sesudah zaman modern menekankan pada artikulasi penderitaan, segi akomodasinya terhadap pentingnya kemajuan, merupakan penghancuran yang sistematik. Keunggulan dari kemunduran penyakit kronis membuat parallel pendinginan dengan erosi permanen terhadap semua yang sehat dan hidup dalam budaya industri. Kemungkinan penyakit tersebut dapat diperlambat pergerakannya, tetapi tidak ada pengobatan sepenuhnya yang dapat dipikirkan dalam konteks ini—yang menempatkan kondisi pada tempat pertama. Kerinduan kita terhadap komunitas bukanlah hal yang lain selain kematian. McPherson, Smith-Lovin dan Brashears (American Sociological Review 2006) menyampaikan kepada kita 19 tahun yang lalu bahwa cirri khas orang Amerika memiliki 2 teman karib; sekarang jumlahnya tinggal dua. Penelitian nasionalnya juga menunjukkan bahwa setelah jangka waktu tertentu, jumlah orang tanpa satu orang teman pun atau yang percaya dengan diri sendiri meningkat tiga kali lipat. Daftar sensus menunjukkan peningkatan yang tajam pada orang yang lajang, ketika budaya teknologi dengan jaringan penghubung ini berkembang lebih terisolasi, sendiri, dan kosong. Di Jepang “masyarakat tidak berhubungan sex” (Kitamura 2006) dan tingkat bunuh diri meningkat tajam. Hikikimori atau pengisolasian diri mendapatkan lebih dari berjuta generasi muda yang yang tinggal hanya di dalam kamarnya selama bertahun-tahun. Sementara budaya teknologi berkembang pesat, tingkat stress, depresi dan kekhawatiran pun juga meningkat. Pertanyaan dan usulan menjadi arus dalam dunia ini hanyalah sebagai realitas, eksternal dan internal, membuat yang masuk akal. Negara kita sekarang, beralih pada bencana, memerlihatkan realitas dalam istilah yang jelas. Kita berada pada keadaan bentrok antara pertanyaan penting baru dan totalitas-peradaban global yang sama sekali tidak menyediakan jawaban. Dunia yang tidak menjanjikan masa depan, tetapi tidak memerlihatkan pengakuannya terhadap fakta ini, membahayakan masa depannya sendiri mengenai kehidupan, kesehatan, dan kemerdekaan dari seluruh makhluk hidup di bumi ini. Peranan peradaban selalu hilang dengan sia-sia di setiap kesempatan yang mereka persiapkan menjelang akhir hidup sebagaimana yang mereka tahu, dengan memilih untuk naik ke puncak dominasi. Hal ini menjadi jelas bagi sebagian orang bahwa kedalaman krisis yang berkembang yang sama besarnya dengan ketidakmanusiaan bagaikan hanyalah ekosidal, batang pokok lembaga dari peradaban itu sendiri. Penghilangan kepercayaan mengenai masa pencerahan dan modernitas mewakili puncak dari kesalahan yang dikenal dengan nama peradaban. Tidak ada prospek dari golongan ini yang akan menurunkan yang telah didefinisikan dan dirawat, serta nampak seperti pendukung ideologi yang beragam dapat melihatnya sebagai fakta. Jika keruntuhan peradaban telah dimulai, prosesnya sekarang secara tidak resmi tetapi secara luas diperkiran bahwa mungkin merupakan dasar dari penolakan yang tersebar luas dari keadaan tertinggal dari totalitas yang memerintah. Memang, ketegaran dan penyangkalan mungkin mengatur tingkat perubahan budaya pada skala yang tidak dapat diprediksi, yang dapat dibuka dengan cepat. Tentu saja, paradigma berubah dari kubu ini, tetapi sistem yang mudah diserang dan bercacat yang fatal ini tidak dapat dielakkan. Kemungkinan utama lainnya yaitu terlalu banyak masyarakat, dalam alasan yang sama (ketakutan, kelambanan, ketidakmampuan pabrik, dll) secara pasif menerima realita sebagai hal tersebut, sampai semuanya terlambat untuk berbuat sesuatu selain mencoba berhubungan dengan kegagalan. Hal ini patut diperhatikan bahwa kesadaran yang berkembang mengenai hal yang berubah menjadi hal yang salah, bagaimanapun dalam taraf permulaan dan beda dari yang lain, didukung oleh kedalaman, ketidaksenangan serta pada banyak kasus merupakan penderitaan yang akut. Keadaan inilah dimana kesempatan terletak. Dari perspektif baru yang berkembang inilah, kita menemukan bagaimana menghadapi apa yang sedang kita hadapi sebagai manusia, dan memindahkan rintangan pada tingakat kelangsungan hidup. Sekarang telah tiba masanya tuduhan besar-besaran terhadap peradaban dan massa masyarakat. Hal yang memungkinkan bahwa, dalam mode yang beragam, beberapa keputusan dapat melepaskan mesin pembunuh sebelum penghancuran dan penjinakkan menguasai semua hal. Walaupun apa yang sebelumnya membantu kita dalam memahami keadaan terakhir kita, kita sekarang hidup dalam penundukkan yang nyata, pada skala yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Pembungkus teknologi – dunia yang menyebar dengan cepat menganjurkan pergerakan pada kontrol yang lebih dalam dari segala aspek kehidupan kita. Penaksiran Adorno pada tahun 1960 terbukti sekarang: “Pada akhirnya sistem akan mencapai titik - kata yang menyediakan isyarat sosial yaitu “integrasi” yang mana kepercayaan universal dari segala pergerakan dari semua pergerakan lainnya membuat perbincangan mengenai hubungan sebab akibat menjadi kuno. Merupakan hal yang omong kosong mencari penyebabnya dalam masyarakat monolitik. Hanya masyarakat itu sendiri yang menjadi penyebabnya.” (Negative Dialectics,p. 267). Totalitas menyerap setiap “alternatif” dan terlihat sebagai hal yang tidak dapat diubah. Hal ini merupakan pembenaran dan ideologinya sendiri. Penolakan kita, keinginan kita untuk membongkar semua hal ini, merupakan pertemuan dengan fungsi argumen dan protes yang lebih sedikit. Respon paling bawah lebih kepada “Yes, pandangan anda bagus, betul, valid; tetapi kenyataan ini tidak akan menghilang begitu saja. Tidak ada dari kemenangan terhadap hal yang tak berperikemanusiaan membuat dunia lebih aman, bukan hanya bagi spesies kita. Semua revolusi diperkuat hanya bagi mereka yang mendominasi dengan memperbaharuinya. Meskipun peningkatan dan penurunan bujukan politik yang beragam, hal ini selalu menciptakan kemenangan; sistem teknologi tidak mundur, mereka hanya meningkat. Kita telah bebas atau sejauh ini otonomi semenjak Mesin menuntut untuk berfungsi. Sementara itu, penilaian idiotik berlanjut. “Kita seharusnya bebas menggunakan teknologi spesifik sebagai alat tanpa mengadopsi teknologi sebagai gaya hidup.” (Valovic 2000). “Dunia dibentuk melalui teknologi digital nyata pada tingkat yang kita pilih untuk memainkan permainan mereka.” (Downs 2005). Sama dengan kekuatan mencengkram, dan beberapa ilusi mengenai bagaimana modernitas bekerja, Mesin menghadapi prospek yang makin buruk. Hal ini membentur fakta bahwa mereka yang mengatur organisasi dominan dari kehidupan tidaklah berusaha menjawab atau memproyeksikan hal positif. “Isu” yang paling menekan contohnya Global Warming diabaikan, dan propaganda mengenai Komunitas (pasar dengan pemisahan), Kebebasan (pengawasan total masyarakat), mimpi Amerika sangatlah salah bahwa hal ini tidak dapat diharapkan untuk ditangani secara serius. Seperti yang dikemukakan Sahlin (1977), semakin rumit suatu masyarakat, semakin kecil kemungkinan mereka bisa menghadapi tantangan. Kekhawatiran umum dari setiap Negara adalah pada pemeliharaan; karena ketika kapasitas ini gagal, begitu pula kesempatan untuk negara bertahan. Ketika janji keamanan menurun, begitu pun dukungan yang nyata hilang. Banyak penelitian mengikutsertakan beragam ekosistem yang terlihat menderita lebih mendadak oleh malapetaka, dibandingkan keadaan biasa, yang merupakan penurunan yang dapat diprediksi. Peranan mekanismenya mungkin hanya menjadi subjek bagi perkembangan parallel. Pada awalnya terdapat 2 ruangan untuk mengatur siasat. Pergerakan peradaban ditemani oleh katup yang aman: garis perbatasan. Ekspansi dengan skala yang besar dari kerajaan Romawi Suci ke arah timur selama abad 12-14, penyerbuan dari Dunia Baru sesudah 1500, pergerakan kearah barat di Amerika Utara selama akhir abad 19. Tetapi sistemnya menjadi “hipotek dalam menyusun pengumpulan berdasarkan cara tersebut” (Sahlins). Kita merupakan sandera, dan begitu pula keseluruhan rakitan hirarki. Keseluruhan sistem sibuk, selalu berubah terus-menerus; transaksi terjadi pada angka yang cepat pergerakannya. Kita telah sampai pada tahap dimana struktur bersandar pada hamper keseluruhan serangan yang lebih atau kurangnya diluar kontrolnya itu sendiri. Contoh utama yaitu pertolongan sebenarnya yang diberikan oleh rezim beraliran kiri di Amerika Selatan. Isunya tidak selalu berupa hasil dari ekonomi neo-liberal, tetapi kesuksesan aliran kiri ini dalam kuasanya terhadap pembangunan ibu kotanya selanjutnya, serta kelanjutan pribumi dalam orbitnya. Tetapi taktik ini tidaklah lebih berat dibandingkan fakta dari keseluruhan kekerasan yang menempatkan masa depan kota teknologi pada resiko kematian. Nama dari krisis tersebut adalah modernitas itu sendiri, kesatuannya, berat kumulatifnya. Rezim apapun sekarang merupakan situasi dimana setiap “solusi” hanya bergantung pada masalah yang melanda. Teknologi yang lebih dan forsa koersif merupakan satu-satunya sumber untuk memaksanya kembali. “Sisi gelap” dari kemajuan memerlihatkan sebagai wajah yang pasti dari masa modern. Para teoretis seperti Giddens dan Beck mengakui bahwa batasan luar dari modernitas telah dicapai, sehingga bencana tersebut sekarang merupakan karakteristik laten dari masyarakat. Dan juga mereka meminta pengharapan, tanpa memprediksi perubahan dasar, bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. Beck contohnya, mencari demokratisasi dari industrialisme dan perubahan tekhnologi – menghindar dengan hati-hati terhadap pertanyaan mengenai mengapa hal ini tidak pernah terjadi. Tidak ada perdamaian, tidak ada pula akhir yang bahagia dalam totalitas ini, dan secara transparan hal ini salah untuk diklaim sebaliknya. Sejarah terlihat menghapuskan kemungkinan penyelamatan; hal ini tentu saja merusak apa yang sudah dilalui sebagai pemikiran kritis. Pelajarannya menekankan seberapa banyak yang harus diubah untuk membangun semangat yang baru dan asli. Tidak ada waktu untuk memilih; bidang atau dasar pergantian kehidupan tidak dapat diketahui dengan banyak cara, tanpa drama, tetapi pada efek yang sangat luas. Jika solusinya terdapat pada teknologi, hal ini hanyalah memperkuat peran dari dominasi modern; bagian utama dari tantangan yang menghadapi kita. Modernitas telah menurunkan bidang yang mengizinkan aksi etis, memotong hasil yang berpotensi berhasil. Tetapi dalam kenyataan, menyerang kita dalam puncak krisis, menjadi lebih dekat dan bertubi-tubi. Berpikirlah mengenai semuanya, karena situasi ini merusak segalanya yang kita inginkan. Kita menyadari bahwa hal ini memang terserah pada kita. Bahkan kemungkinan keruntuhan dari struktur teknologi global seharusnya tidak memikat kita untuk jauh dari pengakuan mengenai potensi peran kita, tanggung jawab kita untuk menghentikan mesin penghancur. Kepasifan, seperti penaklukan sikap, tidak akan membawa pada pelepasan yang mendatang. Kita semua terluka, dan secara bertentangan, pengasingan ini menjadi dasar dari peguyuban. Pertemuan dengan hal yang membuat trauma mungkin terbentuk, pertalian spiritual menuntut pemulihan. Karena kita masih bisa merasa akut, para penguasa kita tidaklah dapat beristirahat semudah yang kita lakukan. Kebutuhan kita terhadapa penyembuhan berarti bahwa sebuah penggulingan harus terjadi. Hal itu sendiri dapat selanjutnya mengobati. Hal seperti “lanjutkanlah”, dapat menciptakan malapetaka di setiap level. Masyarakat mencari tahu: bahwa hal yang sedang terjadi, kenyataannya, malapetaka. Mellisa Holbrook Pierson (The Place You Love is Gone 2006) mengekspresikannya sebagai berikut: “Tiba-tiba hal itu menjadi sukses, yang anehnya sangat mudah untuk dipahami. Tidak dapat dielakkan bahwa kita menghadapi Big Goodbye. Hal ini resmi! Hal yang tidak mungkin patutlah untuk dipikirkan. Hal ini akhirnya nampak, setelah semua sejarah manusia yang ada dibelakang kita. Dalam lubang yang ketinggalan dari jiwa yang menderita anda merasakannya tiba, kehilangan rumah, lebih besar dari penyebab seseorang mengeluarkan air mata. Milik anda dan saya, tangisan pribadi, akan berkumpul menjadi tangisan massal….” Kesengsaraan. Penyesalan. Inilah waktunya bagi kita untuk kembali ke masa dimana kita tidak pernah menyerah untuk menjadi sesuatu. “Terus meregangkan pada batas elastis sampai tidak bisa dibelokkan lagi,” dalam frasa Spangler. Pemikiran masa pencerahan, sejalan dengan revolusi industri, dimulai pada akhir abad 18 di Eropa, saat modernitas dimulai. Kita menjanjikan kemerdekaan berdasarkan kontrol kesadaran terhadap takdir kita. Tetapi masa pencerahan mengklaim bahwa hal tersebut belumlah direalisasikan, dan keseluruhan proyek berubah menjadi penaklukan diri sendiri. Elemen dasarnya termasuk alasan, hak universal dan hukum mengenai sains dirancang secara sadar untuk membuang muatan pra-ilmiah, jenis mistik mengenai pengetahuan. Gotong royong yang mendukung cara hidup dikorbankan dalam nama kesatuan dan keseragaman, pemaksaan pola hukum terhadap kehidupan. Kant menekankan pada kemerdekaan terhadap aksi moral yang merupakan akar dari konteks ini, sejalan dengan program ahli ensiklopedi Perancis untuk mengganti keahlian tradisional dengan sistem teknologi yang terkini. Kant, yang sifatnya tidak lebih suci dari kategori pentingnya, dengan baik dibandingkan dengan universitas modern pada mesin industrial dan produknya. Beragam pencerahan memerlihatkan perdebatan mengenai pro dan kontra mengenai kemunculan perkembangan modern, dan kata-kata ini nyatanya tidak dapat dianggap sebagai topik pencerahan. Bagaimanapun, hal ini mungkin berhasil untuk menyimpan sejarah penting dalam pikiran: kelahiran yang serempak dari pemikiran progresif modern dan produksi massal. Kecenderungan dari penghargaan ini dilihat oleh Min Lin (2001): “Merahasiakan keaslian sosial dari wacana kognitif dalam rangka membenarkan atau mensahkan posisinya dengan menguniversalkan dasar intelektual dan menciptakan kuasi-transendan suci baru.” Modernitas selalu berusaha melampaui dirinya sendiri pada bagian yang berbeda, bergerak meluncur seperti hendak menemukan kembali keseimbangan yang telah lama hilang. Ini merupakan tekad untuk mengubah masa depan. Dengan penekanan modernitas terhadap kebebasan, lembaga pencerahan modern memiliki tidaklah memiliki fakta-fakta kesuksesan selain hanya penyesuaian. Lyotard (1991) mengumpulkan keseluruhan hasil: “Kebiadapan yang baru, buta huruf dan pemiskinan bahasa, kemiskinan yang baru, perubahan bentuk opini tanpa ampun oleh media, perasaan tidak menyesal dari pikiran, serta keusangan jiwa.” Mengumpulkan massa, menstandardisasikan mode, dari setiap sendi kehidupan, dengan kejam telah menghidupkan kembali program pengaturan yang sesungguhnya dari modernitas. “Kapitalisme tidaklah menciptakan dunia kita; tetapi mesinlah yang melakukannya. Penelitian Painstaking merancang pembuktian dari pertentangan yang tertimbun secara nyata dibawah cetakan yang berton-ton jumlahnya.” (Ellul 1964). Tidak dapat dipungkiri adanya pemusatan peran kelas, tetapi sekedar mengingatkan kita bahwa pembagian masyarakat dimulai dengan pembagian tenaga kerja. Pembagian itu sendiri mengarah langsung kepada pembagian masyarakat. Pembagian tenaga kerja merupakan tenaga kerja yang dibagi. Memahami apa karakterisasi dari kehidupan modern tidaklah lebih jauh dari usaha untuk mengetahui peranan teknologi dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti yang sudah ada. Lyotard (1991) menilai bahwa “teknologi tidaklah ditemukan oleh manusia. Tetapi oleh yang mengetahui jalan. Dalam Faust Goethe, tragedi awal dari perkembangan industri, melukiskan horror terdalamnya sebagai bendungan dari tujuannya yang mulia. Pembangun yang luar biasa dari Faust ikut serta dalam gerakan endemik ke arah modernisasi, yang dapat mengancam jejak perbedaan dalam jumlah pergerakannya. Kita berfungsi dalam bidang yang lebih homogen, dasar yang selalu menjalani bentuk utuh untuk mengenalkan jaringan teknologi global yang tunggal. Merupakan hal yang mungkin untuk menghindari kesimpulan ini dengan tetap fokus pada permukaannya, pada apa yang diizinkan nyata pada batas. Beberapa melihat Indymedia sebagai kemenangan penting dari desentralisasi, dan software gratis sebagai tuntutan yang radikal. Sikap ini mengabaikan dasar industri dari penggunaan dan pengembangan teknologi yang canggih. Segala “Alat yang menakjubkan” termasuk telepon selular yang beracun dan ada di mana-mana, lebih terhubung pada bencana ekosistem dari industrialisasi di Cina dan India, contohnya, dari pada pembersihan, halaman licin dari majalah Weired. Sang penyelamat mengklaim Weird luar biasa sebagai keputusan mereka, yang merupakan fantasi bersifat kekanak-kanakan. Penganutnya hanya dapat dipertahankan pada khayalan hebat yang berarti pembutaan dengan sengaja tidak hanya pada penghancuran sistematik teknologi alam, tetapi juga kerugian masyarakat global juga termasuk: hidup dipenuhi dengan racun, pekerjaan yang menjemukan, serta kecelakaan pabrik. Sekarang muncul fenomena protes melawan seluruh hal yang menyangkut sistem universal, seperti “makanan yang lambat,” kota yang lambat, “jalan yang lambat”. Masyarakat lebih memilih kebutuhan yang memberikan jedah dan tidak melahap susunan kehidupan. Tetapi penurunan yang sebenarnya mengambil kecepatan. Hanyalah perubahan radikal yang merintangi lintasannya. Lebih banyak misil di banyak negara nyata merupakan bagian lain dari pergerakan umum dari teknologi yang penting. Momok dari kematian massa merupakan hasil yang sempurna, kondisi modernitas, sementara manusia berada pada kondisi teknologi dari subjeknya. Kita merupakan kendaraan mesin Mega, bukanlah pewaris, menjadi sandera dari setiap lompatan ke depan. Kondisi manusia teknologi menjadi nampak pada akhirnya. Tidak ada yang dapat diubah sampai dasar dari teknologi diubah, yaitu dihapuskan. Kondisi kita diperkuat oleh mereka yang ada – pada mode klasik sesudah masa modern – dimana alam / budaya merupakan binarisme yang salah. Dunia yang alami diusingkan, diratakan, pada tegangan dari logika penyerahan yang mana alam selalu menjadi budaya, selalu tersedia untuk penaklukan. Koert van Mensvoort dalam “Exploring Next Nature” (2005) membongkar dominasi dari logika alam, yang begitu popular: “Alam kita yang selanjutnya akan terdiri dari apa yang seharusnya menjadi kebudayaan.” Selamat tinggal, realitas yang tidak ada. Setelah semuanya itu dia dengan gembira menyatakan bahwa alam berubah bersama dengan kita. Hal ini merupakan kehilangan bagi konsep alam – dan bukan hanya konsepnya! Tetapi tanda “alam” pasti menikmati kepopuleran, ketika substansinya dihancurkan: “eksotik” produk budaya dunia ketiga, bahan-bahan makanan alami, dsb. Sayangnya, pengalaman alami berhubungan dengan pengalaman alam. Ketika yang terakhir dikurangi menjadi kehadiran yang tidak substansial, penciptanya dilecehkan. Paul Berkett (2006) menempatkan Marx dan Engels pada efek dengan masyarakat komunisme yang “tidak hanya akan merasakan tetapi juga mengetahui keutuhannya dengan alam,” komunisme itu merupakan “kesatuan manusia dengan alam.” Penanggulangan teknologi industri sebaliknya – merupakan sampah dari penciptanya. Mengenyampingkan orientasi komunisme, seberapa banyakkah ketidaksetujuan yang tersisa dengan syair Marx pada produksi massa? Pengabaian terhadap pemahaman Freud dalam Civilization and its Discontents merupakan saran yang mendalam, “perasaan bersalah yang ditimbulkan oleh peradaban” menyebabkan ketidakpuasan dan rasa yang tidak enak. Adorno (1966) melihat bahwa hal ini relevan pada “bencana yang akan terjadi merupakan perkiraan dari bencana irasional pada awalnya. Aslinya, kualitatif, menyampaikan kegagalan dalam hidup terhadap planet ini yang merupakan perencanaan gerakan peradaban. Masa pencerahan, -- sama seperti abad Axial agama dunia 200 tahun sebelumnya – menyiapkan transedensi untuk level berikutnya dari dominasi, sebuah dukungan yang sangat dibutuhkan untuk modernitas industri. Tetapi dimanakah sekarang seseorang mendapatkan sumber transendansi, membenarkan kerangka proses untuk level terbaru dari perkembangan yang serakah? Sungguh suatu dunia baru dari ide dan nilai dapat dipikirkan pada pengesahan semua reruntuhan yang mencakup modernitas terakhir? Hanyalah sistem yang memiliki kelembaman; tidak ada jawaban, dan juga masa depan. Sementara itu, konteks kita adalah pada keramahan atas ketidakpastian. Tambatan stabilitas dari hari ke hari mencadi lambat, semnjak sistem mulai menampilkan kelemahan yang ganda. Ketika tidak lagi dapat menjamin keamanannya, maka hal ini akan berakhir dengan cepat. Milik kita merupakan tempat yang menguntungkan sejarah yang tidak ada bandingannya. Kita dapat dengan mudah merengkuh sejarah dari penyakit peradaban universal. Pemahaman ini kemungkinan merupakan sinyal kekuatan yang memungkinkan pergantian paradigma, satu-satunya yang dapat sejalan dengan peradaban dan membebaskan kita dari keinginan untuk mendominasi. Tantangan yang berani, pada akhirnya; merupakan pengingatan kembali terhadap anak-anak yang mulai berbicara dengan wajah penyangkalan. Sang penguasa tidak memakai apapun; kata-katanya omong kosong.

Hujan di Depan Rumah

( Hujan di Depan Rumah, M.A Ojudista, 2007 ) Pagi ditemani rintik-rintik hujan Langit yang putih tertutup awan Kupandangi suasana depan rumahku Ada sawah dan padi yang mulai menguning Rasa malasku semakin membesar Dan ingin membawaku lagi mengarungi mimpi Tapi aku masih ingin berdiri disini Memandangi desaku yang sangat indah Karena aku takut semua ini akan hilang Disulap menjadi taman-taman kemunafikan Di waktu yang cerah kita bisa melihat Bukit dan gunung yang berbaris rapi Tapi dari depan rumahku juga kelihatan Corong asap pabrik yang menghitami angkasa Pernah ada satu burung jatuh di halaman rumah Sambil menangis dia berbisik padaku Kalau dia terkena radang paru-paru Setelah melewati kawasan industri dekat rumahku Esok harinya sahabat sang burung datang membawa kabar Kalau temannya yang sakit paru itu telah mati Karena merasa cemas burung-burung lainnya Membeli masker dari toko terdekat Rintik hujan berubah menjadi hujan deras Kubuat secangkir kopi dan aku tidak mau lagi keluar rumah ( Hidup- M.A Ojudista, 8 April 2010 ) Berlarilah… berlarilah jangan menoleh ke belakang Biarkanlah… biarkanlah dia tetap tertinggal di belakang Jangan terus jatuh hanya karena kaki berdarah Jangan terus menangis hanya karena tergores Teriaklah… bahwa itu bukan kehidupan yang indah Hantamlah.. bahwa itu memang benar musuh yang nyata Karena kita bukan orang-orang yang kalah Karena kita bukan orang-orang yang gila Tersenyumlah karena mentari setia menemani Setiap jejak langkah kita hinggah dia musnah Yakinlah bahwa tanah tidak akan sudi menerima Bangkai kita yang telah bersetubuh dengan penguasa Bumi rindu keringat-keringat manusia yang penuh cinta Yang akan menjadi penyambung kehidupan selanjutnya Bumi rindu darah-darah manusia yang penuh cinta Yang akan menjadi penyambung kehidupan selanjutnya

PERSETUBUHAN KAPITAL, INTELIJEN DAN INSTITUSI PENDIDIKAN

Konspirasi Intelijen Dan Dunia Akademik ( Peran dan posisi negara dalam hal ini pemerintah, tidak lebih hanya menjalankan peran administratif ketatanegaraan saja ) Muhammad Afandi Ojudista Sejalan dengan terus berkembangnya arus informasi yang tinggi dan meningkatnya kebutuhan manusia di seluruh aspek serta perebutan-perebutan akan suatu daerah yang masih mengandung mineral-mineral dengan nilai tinggi menyebabkan suatu kondisi persaingan yang terbuka dan menghalalkan segala cara karena memang terbatasnya kekayaan alam dan tidak bertambahnya daratan. Perebutan ini akan menciptakan peperangan yang tak terelakkan karena memang dengan perkembangan peradaban manusia dimana kebutuhan manusia juga semakin bertambah mendorong terjadinya rivalitas yang tinggi baik antar satu manusia dengan manusia yang lain maupun satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain. Dalam kondisi inilah lahir sebuah aktifitas atau kegiatan, proses, instrument yang didasarkan pada sebuah kecerdasan akal untuk mendapatkan, mengolah dan menganalisis berbagai informasi untuk dihadirkan sebagai data guna pengambilan keputusan atas berbagai permasalahan yang dihadapi sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai intelijen. Intelijen yang berarti kepandaian dan kecerdikan dan pada perkembangannya intelijen berfungsi dalam kegiatan banyak hal. Dengan dukungan perkembangan teknologi menyebabkan intelijen merupakan instrument vital untuk memenuhi sebuah kebutuhan yang diinginkan oleh sekelompok kepentingan orang ataupun organisasi tertentu yang jika disederhanakan adalah mereka yang disebut sebagai pengambil keputusan di seluruh berbagai sektor kehidupan politik, social, budaya, pertahanan keamanan, teknologi dan ilmu pengetahuan. Masa Kolonialisme dan Imperialisme Kemenangan para cendikiawan yang mendukung gagasan bahwa bumi itu bulat telah menghancurkan doktrin gereja yang pada saat itu mengimani bahwa bumi itu datar. Dalam proses pembuktiannya, para pemilik modal ikut mengambil peran mendukung gagasan para cendikiawan dengan memfasilitasi ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol yang kemudian diikuti oleh Inggris, Perancis dan Belanda sampai pada akhirnya mereka menemukan jalan ke “Hindia” dengan berkeliling Afrika menuju ke timur dan berkeliling Amerika Selatan menuju ke Barat yang akhirnya membentuk peradaban Eropa baru bernama United State of America (Amerika Serikat). Konsep pemikiran Merkantilisme sebagai aliran politik ekonomi yang berkembang di Eropa ketika itu menemukan bentuk kesejatiannya dengan ditemukannya wilayah-wilayah baru yang kaya dengan potensi alamnya dan keramahan penduduknya. Inilah awal dari pengiriman ekspedisi besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa dengan mengibarkan panji-panji Gold, Glory, dan Gospel sebagai basis legitimasi atas pengkaplingan yang mereka lakukan terhadap wilayah-wilayah jajahan baru yang tersebar di seluruh dunia. Masa Neo Kolonialisme dan Imperialisme Kebrutalan dan keserakahan untuk yang terbalut dalam sebuah nafsu buas untuk menguasai sebanyak mungkin wilayah jajahan baru memicu konflik dan persaingan liar diantara bangsa-bangsa eropa yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perang dunia I yang kemudian berlanjut pada perang dunia II. Seiring dengan perubahan zaman serta tata politik dan tata ekonomi dunia dengan menguatnya keinginan dari banyak wilayah jajahan yang menuntut kemerdekaan dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa dimana tidak bisa lagi dibendung dengan kekuatan militer, maka pengakuan kemerdekaan bagi Negara-negara baru tersebut merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dan hanya menunggu soal waktu. Di sisi lain, kemajuan ekonomi bangsa-bangsa Eropa ditambah lagi Amerika Serikat sudah berkembang sedemikian pesatnya kearah industrialisasi yang menuntut jaminan tersedianya pasokan bahan baku dan energi secara berkesinambungan serta tentunya dukungan pasar, baik pasar tenaga kerja maupun pasar bagi pemasaran produk-produk industri mereka. Perkembangan di bidang sosial-politik, walaupun ditengarai oleh adanya konflik “ideologis” antara Negara-negara pendukung Kapitalisme-Liberalisme yang tergabung dalam NATO dan dikomandoi oleh Amerika (USA) dengan Negara-negara Pakta Warsawa yang berkiblat pada Sosialisme-Komunisme dengan panglimanya Uni Sovyet (USSR), pun tetap pada akhirnya berujung pada pertarungan hegemoni demi kepentingan penguasaan global. Situasi dan kondisi ini yang mendorong mereka untuk segera menyesuaikan diri terhadap arah perubahan global. Semula yang tadinya menggunakan pendekatan politik dengan strategi penggunaan kekuatan militer untuk menduduki wilayah jajahan, berubah menjadi pendekatan ekonomi dengan strategi penggunaan kekuatan kapital untuk menguasai –tanpa harus menduduki– wilayah jajahan. Ini yang kemudian lebih dikenal sebagai Neo Kolonialisme-Imperialisme (NEKOLIM). Dalam hal ini harus diakui bahwa ditengah terpuruknya Eropa akibat Perang Dunia II, Amerika Serikat memiliki keunggulan dalam memegang kendali dan peranan utama sebagai inisiator terbentuknya fondasi sebuah tatanan ekonomi internasional yang bertujuan untuk terus memperluas wilayah jajahan tanpa harus menduduki. Ada dua mekanisme utama yang dikembangkan oleh Amerika dalam hal ini, yakni sistem Bretton Woods dan Marshall Plan. Dari pertemuan yang diadakan pada tahun 1945 di Hotel Mount Washington, Bretton Woods, New Hampshire, USA; sistem Bretton Woods dilahirkan dengan tujuan untuk menyediakan kerangka institusional bagi sebuah tatanan ekonomi liberal yang diinginkan oleh para kapitalis Amerika. Selain itu, pertemuan tersebut juga memutuskan untuk membentuk “korporasi trans-nasional” dan “lembaga trans-nasional” yang bernama World Bank dan IMF. Pertemuan itu juga mensyaratkan adanya perubahan standar nilai tukar mata uang dunia dari Gold Standard (standar emas) menjadi US Dollar standard (standar Dollar Amerika Serikat). Tugas utama World Bank diawal berdirinya adalah untuk membantu pembangunan dan rekonstruksi teritori para anggota Bank Dunia dengan memfasilitasi investasi kapital untuk tujuan produksi. Sedangkan IMF bertugas untuk merekonstruksi dan menjaga sistem moneter internasional. Kedua badan dengan masing-masing tugas tersebut dipandu oleh sebuah skema perencanaan yang bertujuan agar supaya terjadi kesamaan dan kesatuan pandang di antara para pengambil keputusan dalam persepsi maupun pembuatan kebijakan. Skema perencanaan inilah yang lebih dikenal sebagai Marshall Plan. Marshall Plan juga dimaksudkan untuk memberi kemungkinan bagi mereka dalam mengelola perekonomian dunia paska perang pada basis komitmen bersama bagi pertumbuhan ekonomi dan produktivitas tinggi. Dari sinilah berawal sistem perencanaan proyek pembangunan di Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang meletakkan peran utama Negara sebagai pendorong utama perubahan dengan mengandalkan ketergantungan pada dana bantuan institusi keuangan internasional. Maka tentunya tidak mengherankan apabila pemimpin-pemimpin Negara dunia ketiga seperti Soeharto dan Marcos mampu mempertahankan kekuasaannya dalam waktu lama. Pemimpin-pemimpin otoritarian seperti ini dihadirkan sebagai alat untuk melayani kepentingan mereka –Negara-negara Kapitalis AS, Eropa dan sekutu-sekutunya–. III. Masa Posmo Kolonialisme-Imperialisme Perkembangan yang terjadi paska kelahiran Bretton Woods dan Marshall Plan makin menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan bagi Negara-negara Kapitalis Amerika dan Eropa. Tercatat berbagai organisasi sayap pendukung bermunculan untuk melengkapi dan menyempurnakan agenda penguasaan global seperti antara lain World Trade Organization (WTO) yang dilahirkan dalam pertemuan Uruguay Round (Putaran Uruguay) pada tahun 1994 dimana Indonesia salah satu dari 140 negara (sampai 30 Nopember 2000) yang telah meratifikasi hasil putaran Uruguay melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization. Hasil perundingan Putaran Uruguay secara garis besar terbagi dalam empat bagian yaitu : perluasan akses pasar, penyempurnaan aturan main, penyempurnaan institusional dan beberapa isu baru. Isu baru yang dimaksud adalah perjanjian di bidang jasa (GATS-General Agreement Trade in Services), perjanjian yang mengatur hak atas kekayaan intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPS-Trade Related of Intellectual Property Rights), dan perjanjian investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMS-Trade Related Investment Measures). Belum lagi tak terhitung organisasi-organisasi yang ditukangi oleh gerakan rahasia Freemasonry Yahudi dengan kemampuan lobby internasional yang sangat konspiratif mampu memberikan pengaruh yang kuat terhadap kebijakan luar negeri Negara-negara maju khususnya Amerika Serikat. Tercatat antara lain World Economic Forum yang pada tahun 1996 mengadakan pertemuan di Davos, Swiss. Ada lima issue yang menjadi rekomendasi utama dalam pertemuan itu, yakni : KKN, HAM, Demokratisasi, Gender dan Liberalisasi Perdagangan. Kelima issue tersebut harus segera disosialisasikan untuk menjadi issue global demi memuluskan agenda-agenda penguasaan global (globalisasi). Meminjam ucapan Hans Peter Martin dan Harald Schumann dalam bukunya The Global Trap: Globalization and the Assault on Democracy and Prosperity, “Globalisation is not a ‘natural’ process, but one ‘consciously driven by a singleminded policy’ “. Presiden Amerika Serikat George Bush Sr. pada tanggal 11 September 1991, tepat 10 tahun sebelum terjadi peristiwa aksi terorisme dengan hancurnya WTC, dalam pidatonya di depan Kongres Amerika dengan tegas telah menetapkan adanya keinginan untuk membangun tatanan The New World Order. Pada tahap ini, bangunan tata sistem serta struktur ekonomi politik internasional yang dibangun oleh Amerika dan sekutu baratnya makin menghegemoni dunia, terutama setelah hancurnya blok Komunisme-Sosialisme dengan diawali oleh gerakan Glasnost-Perestroika di Uni Sovyet dan hancurnya tembok Berlin yang kemudian berkembang menjadi guliran bola salju mendorong terjadinya proses Balkanisasi yang menghantam Negara-negara Eropa-Timur dan semenanjung Balkan. Gelombang besar perubahan peta politik dan ekonomi dunia yang terjadi bukanlah sebuah keniscayaan yang muncul begitu saja secara kebetulan. Semua perubahan yang terjadi ini tetap dalam sebuah Grand Design dan Grand Scenario dari Kapitalisme Amerika dan sekutu baratnya yang kemudian dikenal sebagai “turbo-capitalism”. Secara politik, jangan pernah dilupakan betapa besarnya peran United Nations (PBB) sebagai organisasi boneka yang bermarkas di Amerika dalam ikut memuluskan agenda-agenda kepentingan mereka. Dalam operasi-operasi penggelaran kekuatan militer yang dilakukan atas nama PBB, Dewan Keamanan PBB masih tergantung pada hak Veto yang dimiliki oleh sejumlah Negara maju. Ini makin membuktikan bahwa organisasi yang menjadi tempat berhimpunnya seluruh Negara-negara di dunia dimana seharusnya menjunjung tinggi asas kesetaraan atas dasar persamaan kedaulatan setiap negara, nyata-nyata dibawah kendali mereka, primus inter pares, the first among equals. Dengan tercapainya keberhasilan dalam membentuk bangunan tata sistem serta struktur ekonomi politik internasional, maka tinggal selangkah lagi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan terciptanya penguasaan global secara total. Pada tahap inilah kembali terjadi perubahan pendekatan dari yang semula menggunakan pendekatan ekonomi dengan strategi penggunaan kekuatan kapital untuk menguasai –tanpa harus menduduki– wilayah jajahan, berubah menjadi pendekatan budaya dengan strategi penggunaan kekuatan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk melakukan social engineering –kalaupun tidak bisa dikatakan sebagai proses cuci otak dan indoktrinasi secara halus dan sistematis– terhadap masyarakat di wilayah jajahan. Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai Posmo Kolonialisme-Imperialisme atau sering pula disebut sebagai Imperialisme Budaya. Pada 14 Juni 1992, hanya enam bulan setelah pertemuan World Bank/IMF di Bangkok, PBB menggelar Conference on Environment and Development (Earth Summit) yang dilselenggarakan di Rio de Janeiro dimana untuk pertama kali Agenda 21 diungkap sebagai kitab suci terbaru yang harus diimani oleh seluruh umat di dunia. Lebih dari 900 halaman terbagi dalam 4 bagian dan 40 bab yang terdapat dalam Agenda 21 berisi tentang rencana aksi yang menyeluruh atas bagaimana seharusnya dunia di masa depan. Sebanyak 179 negara memilih untuk mengadopsi program tersebut yang kemudian mengejawantahkannya dalam bentuk pogram Millenium Development Goals (MDG). Inilah blueprint Imperialisme Budaya terbaru yang disusun oleh konspirasi Posmo Kolonialisme-Imperialisme untuk mewujudkan Novus Ordo Seclorum, The New World Order. Yang perlu digarisbawahi dalam mencermati perubahan pola pendekatan yang terjadi, setiap tahapan perubahan pendekatan tidak berarti menegasikan pendekatan yang dilakukan sebelumnya sebagai sebuah opsi pilihan. Namun lebih pada menempatkan pilihan skala prioritas mana yang lebih didahulukan dengan berbagai varian kombinasinya mengingat ini juga sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi obyek wilayah jajahan yang memiliki karakteristik serta tingkat kesulitan berbeda-beda. Dalam strategi pendekatan budaya melalui proses social engineering, Ø Target yang dituju adalah langsung pada manusia yang nantinya diperankan, difungsikan dan diposisikan sebagai obyek yang akan mengisi bangunan tata sistem dan struktur ekonomi politik dunia yang sudah lebih dulu dipersiapkan. Ø Sasaran yang ingin dicapai adalah untuk merubah tata nilai, budaya, sikap perilaku, sistem dan struktur dari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di wilayah jajahan; agar berorientasi pada tata nilai, budaya, sikap perilaku, sistem dan struktur dari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diingikan dengan corak kapitalistik dan konsumtif. Ø Tujuan jangka pendek 1. Menjaga keunggulan posisi dengan memelihara bangunan tata sistem dan struktur ekonomi politik dunia yang sudah tercipta. 2. Menuntaskan penguasaan teritorial dunia atas wilayah-wilayah yang belum sepenuhnya dikuasai secara mutlak –seperti yang telah terjadi pada Afghanistan dan Irak dengan target berikutnya adalah Iran dan Korea Utara, (Indonesia ?)–. 3. Mengurangi peran Negara di wilayah jajahan secara perlahan-lahan dengan mengatasnamakan Demokrasi. Artinya, ketika civil society menguat maka state akan melemah. Dengan demikian, kekuatan modal atau capital pada akhirnya yang akan mengatur kebijakan Negara atas nama mekanisme pasar yang pada dasarnya dikendalikan oleh kaum pemilik modal. Peran dan posisi negara dalam hal ini pemerintah, tidak lebih hanya menjalankan peran administratif ketatanegaraan saja. Ø Tujuan jangka panjang adalah membentuk Tata Dunia Baru – The New World Order, melalui penciptaan Regional Economies (zona-zona ekonomi regional) yang nantinya akan tergabung dalam United State of e-Global System (Federalisme Global) dibawah kendali Cyber-Capitalism. Pada awal proses berlangsungnya, untuk menghindari resistensi serta agar memberikan pencitraan kepada penduduk wilayah jajahan bahwa yang mereka lakukan adalah mission-sacréé, maka wacana KKN, HAM, Demokratisasi, Gender dan Liberalisasi Perdagangan menjadi basis standar moral yang digunakan sebagai kemasan untuk melegitimasi setiap tindakan taktis yang mereka lakukan dalam upaya proses social engineering. Walaupun pada prakteknya sering kali mereka juga menggunakan standar ganda sepanjang itu menguntungkan kepentingan mereka. Seiring dengan laju kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan maka kompleksitas persoalan yang dihadapi menuntut juga adanya langkah-langkah pendekatan politik dan ekonomi yang lebih komprehensif sinergis dengan proses social engineering yang sedang dilakukan. Untuk itu, selain wacana tersebut di atas yang digunakan sebagai basis standar moral, dituntut pula adanya basis standar intelektual berupa kerangka teoritis yang sengaja diciptakan untuk memberikan legitimasi ilmiah akademis atas proses yang sedang berlangsung. Tercatat sejumlah “nabi-nabi baru” ilmu pengetahuan dimana karya-karya pemikirannya seringkali dikutip sebagai referensi akademis sekaligus jebakan intelektual bagi cendikiawan-cendikiawan di Negara-negara wilayah jajahan (Negara-negara berkembang dunia ke-3) seperti antara lain : + Francis Fukuyama, karyanya : The End of History and The Last Man Trust + Samuel P. Huntington, karyanya : 1. The Class of Civilizations 2. Political Order in Changing Societies + John Naisbitt, karyanya : 1. Megatrends 2000 2. Megatrens Asia : Eight Asian Megatrends That Are Reshaping Our World 3. Global Paradox + Alvin Toffler, karyanya : 1. The Third Wave 2. Future Shock 3. Powershift : Knowledge, Wealth and Violence at the 21st Century + Kenichi Ohmae, karyanya : 1. The Next Global Stage : The Challenges and Opportunities in Our Borderless World 2. The Borderless World, rev ed : Power and Strategy in the Interlinked Economy 3. The Invisible Continent : Four Strategic Imperatives of the New Economy 4. End of the Nation State : The Rise of Regional Economies 5. The Evolving Global Economy : Making Sense of the New World Order 6. The Global Logic of Strategic Alliances + Anthony J Giddens, karyanya : 1. Runaway World : How Globalization is Reshaping Our lives 2. The Third Way : The Renewal of Social Democracy 3. Modernity and Self -Identity : Self and Society in the Late Modern Age + Daniel Bell, karyanya : 1. The end of Ideology 2. The Cultural Contradictions of Capitalism 3. The Coming of Post-Industrial Society + Hans Peter Martin dan Harald Schumann, karyanya : 1. The Global Trap: Globalization and the Assault on Democracy and Prosperity Yang kesemuanya seolah-olah berisi tentang berbagai analisis dan teori-teori baru mengenai perubahan-perubahan dunia yang sudah terjadi, sedang berlangsung dan yang akan datang. Keseluruhan karya-karya tersebut dicitrakan sebagai nubuat-nubuat yang membawa doktrin-doktrin kebenaran baru tentang bagaimana seharusnya masa depan dunia. Ilustrasi yang tepat atas itu mungkin bisa dilihat dari kejadian pemboman yang menyebabkan hancurnya gedung WTC di New York oleh kelompok fundamentalis Islam yang mengaku bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Hal ini membuat AS justru mendapatkan legitimasi dan justifikasi untuk melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak atas nama peperangan melawan terorisme –sesuai dengan apa yang “diprediksi” oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Class of Civilizations yang menyatakan bahwa paska hancurnya komunisme dengan runtuhnya Uni Sovyet, maka yang akan menjadi ancaman berikutnya terhadap kepentingan barat adalah islam–. Walhasil, ladang-ladang minyak berikut jalur pipa distribusi minyak di kedua Negara tersebut sekarang sudah menjadi milik AS dengan “dukungan dan restu” dari pemerintahan boneka yang diciptakannya di kedua Negara tersebut. Kendati demikian, apabila dicermati lebih jernih dan lebih teliti serta di-elaborasi secara mendalam dengan menggunakan kejernihan pikiran dan logika akal sehat yang kontemplatif serta dituntun oleh budi nurani kemanusiaan yang imanen dan transendental, sesungguhnya kita akan menemukan bahwa karya-karya tersebut ternyata lebih jauh berisi tentang Blue Print lengkap Manual Instruction yang akan dilakukan terhadap masa depan dunia sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Dengan menggunakan logika terbalik, maka tidaklah mengherankan apabila setiap langkah dan tindakan apapun yang mereka lakukan dalam menjalankan berbagai pilihan strategi pendekatan dengan berbagai perubahan varian kombinasinya, menjadi terjustifikasi serta terlegitimasi secara ilmiah dan akademis oleh landasan kerangka teoritis yang justru memang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Jadi apa yang seolah-olah ditulis dalam buku-buku tersebut sebagai Future Analysis sesungguhnya adalah Hidden Agenda (rencana-rencana tersembunyi) yang saat ini by design sedang berproses.

Kampung Tengah

( Muhammad Afandi - Ojudista) Menembus kabut yang tebal, dia lari tanpa melihat kebelakang, dan terus berlari dengan tangan yang menggenggam bambu diikat kain hitam yang usang, tanpa senyum dalam jalan yang panjang sesekali berhenti untuk melepas lelah, sesekali sembunyi dibawah bangkai pohon untuk mengintip siapa yang bakal lewat di jalan semak itu. Sudah 4 hari tak makan nasi, hanya madu menjadi penawar lapar yang tergantung di kanan pinggangnya dalam botol kuning berbahan tanah liat. Malam ini terserang demam begitu hebatnya, berusaha untuk duduk bersila sambil mengatur nafas, cara yang diyakininya untuk menetralisir gelombang negatif di dalam tubuh walaupun malam itu baru pertama kali dilakoninya. Jambu monyet menjadi sarapan pagi, rintik hujan jatuh manja di rambutnya yang ikal, dia heran karena ada pohon padi yang baru saja dibabat, menandakan ada kehidupan di depan sana, dicabutnya sebatang, diirisnya ujung batang dan ditekuk sedikit, ditiup akhirnya menjadi not-not minor, kacer hitam yang bertengger di pohon jambu monyet membantunya untuk menjadi not-not mayor yang panjang. Dia tak mau lagi berlari, karena dia yakin di depan ada kehidupan, kakinya diatur untuk tetap berjalan, berdarah, ya berdarah di ujung jempol kaki kanan saat melompati sungai kecil berbatu, menginjak keong kakinya, aku harus segera sampai di kampung itu dan mendapatkan makanan. Dua bocah laki-laki berpakaian serba hitam yang muncul tiba-tiba dari pohon durian bertanya kepadanya, mau kemana Pak ? “Kalian rumahnya dimana” balik bertanya. Di Balik bukit itu pak, jawab bocah secara serentak. Sebelas langkah kedepan dan dia melihat kebelakang, dan kedua bocah tersebut dilihatnya sedang makan rumput. Pemuda itu mencobanya, kedua bocah tersebut memungut giginya yang copot di tanah. Keringatnya mengucur deras, dia lari sekuat tenaga dalam keganjilan. Ternyata benar dari atas bukit tersebut kelihatan sebuah kampung yang melingkar, dengan tergesa-gesa ia menuruni bukit tersebut, “bolehkah saya meminta makanan” ? tanpa ragu ia bertanya kepada seorang perempuan berambut sepinggang yang dijumpainya di pinggir kampung tersebut. Perempuan itu masuk kerumah dengan sigap, menutup pintu sangat rapat. Dua perempuan tua memuncratkan cairan kuning kecoklat-coklatan dari mulutnya, semakin dekat dengan dirinya, “Buk, bolehkah saya meminta makanan” ? Dua lembar daun sirih, secuil pinang diberikan kepada pemuda tersebut tanpa meninggalkan seuntai kalimat. Dengan perasaan yang kecewa ia mulai mempercepat langkahnya, dan membungkus pemberian tersebut dengan kain yang dicopotnya dari bambu kesayangannya. Baru saja duabelas langkah dia dihadang oleh seorang lelaki hitam yang tak berbusana, “Mau kemana kamu anak muda” ? Mau mencari makanan wahai orang tua, jawabnya. Hahahaha….., kamu datang saja kerumahku, nanti kita makan sepuasnya, sambung orang tua tersebut. Dimana rumah kamu wahai orang tua ? Di ujung kampung ini, sebelah kanan sungai, jawab orang tua tersebut. “Kapan saya bisa mendapatkannya” ? Setelah matahari terbenam, datanglah kamu kerumahku.. Menunggu gelap dia mencoba untuk tidur disamping batu kapur disebelah kiri sungai, laparnya yang hebat tetap dia kalahkan, tiga jam ia masuk ke alam bawah sadar dan terbangun karena bambu kesayangannya jatuh menimpa kepalanya, dan gelap tak kunjung datang, padahal ia merasa gelap sudah dekat, malah yang membuat ia tambah bingung karena disekelilingnya tak ada kampung. Kain hitamnya dibuka, ternyata daun sirih dan secuil pinang masih ada.

Bukan Pulau Pangkatan

Muhammad Afandi - Ojudista Setumpuk buku telah disusunnya rapi, duduk melingkarpun telah bubar dengan kesepakatan yang ditulis dalam catatan-catatan pribadi. Ia segera membasuh muka dan menyikat giginya yang tanpa sadar telah melukai gusi hinggah air kumurnya yang biasa putih menjadi sedikit kemerahan. Tangan memegang erat tembok, kakinya berusaha kuat untuk menahan badan, dan akhirnya ia dapat duduk diatas genteng menatap langit dengan tebaran bintang yang tidak pernah dihitung selesai sampai pagi menjemput. Tembakau bercampur daun dari negeri Serambi pun dibakar, dihisap perlahan, sesekali ditelannya, cara yang biasa dilakukannya di saat malam ketika berada di Jalan Timor. Pukul 10 pagi Ia sudah bersiap untuk bergegas ke kampus, lontong sayur Buk Ani sudah menanti di warung luar pagar kampus, “kemana aja ndi, udah lama gak keliatan?”.. Masih di planet bumi aja kok buk, hehe,,, ada kegiatan ama kawan-kawan buk, Candanya”.. rasa kantuk menyerang beringas, saat sang dosen menerangkan transformator bekerja. Selepas magrib mereka bertiga duduk lurus menghadap sebuah kereta api bisnis, tas ransel yang berjumlah 4 mereka angkut kedalam, Ia membakar sebuah rokok kretek dan hampir setengah jam selalu melihat ke arah jendela, menghitung tetesan air yang jatuh di luar jendela kereta karena hujan mulai datang setelah 10 menit kereta beranjak dari stasiun, Si Im dan Si Ac sadar bahwa Ia ditekuk keletihan dan malas untuk mengganggunya selama perjalanan menuju arah Timur. Tepat pukul 5 pagi mereka sudah di stasiun terakhir, bus kecil menawarkan ke arah Negeri Lama, pukul 7 lewat seperempat Si Im memberi kode untuk pak Supir agar berhenti, air mineral ditumpahkannya, ditampung dengan tangan kanan, dibasuhkan ke muka. Tanah merah menjadi lebih licin dari biasanya karena hujan sepertinya cukup deras tadi malam turun, harus berhati-hati untuk sampai ke pinggir sungai, Bang Regar penjaga rakit menarik talinya agar kami tidak harus melompat untuk sampai ke rakit, arus sungai masih ramah walaupun air lebih tinggi dari biasanya. Ya, harus berjalan lagi setengah jam untuk sampai ke tujuan. Kami harus membagi tim, kami bertiga harus berpencar di 5 dusun yang tak teraliri listrik Negara itu, sembari menunggu kawan-kawan yang lain datang seminggu lagi. 5 dusun, 2 dusun dihuni oleh ber KTP muslim, dan 3 dusun ber KTP non muslim, aku ditempatkan di dusun muslim, tapi ini bukan tetap, akan berubah dalam 3 hari, selebihnya akan ditugaskan ke dusun yang lain. 2 minggu lagi kami akan tumpah ruah di kota Rantau Prapat, mengumumkan bahwa tanah telah dirampas oleh korporasi raksasa yang berinduk nama Sinar Mas, Pangkatan, sebuah desa kecil yang ditempuh dengan 10 jam dari kota Medan, laksana pulau terpencil dan terisolasi hinggah tahun 2002, tapi bukan pulau karena hanya dipisahkan sungai. Dan malam itu, obor digenggamnya dengan tangan kiri, buku catatan dipegang dengan tangan kanan, harus segera sampai sebelum pukul 8 malam, sebelum pertemuan dengan warga dimulai. Ia lupa mengisi minyak, obor padam ditengah jalan, Ia lupa kemana jalan selanjutnya, kakinya terbentur batu, dan Ia segera tahu harus berbelok ke kanan karena batu itu adalah makam kecil yang sering dilaluinya. Semua mempertanyakan kemana jalan menuju kemenangan, bukan jalan menuju keadilan, karena keadilan memang tidak pernah ada. Membicarakan kemenangan lebih menarik daripada keadilan, sama seperti ketika kitab-kitab yang ditafsirkan oleh para sahabat nabi dengan penuh semangat patriarchal, dan kemudian ditelan mentah oleh generasi selanjutnya, kemudian terlembagakan untuk mengamankan pihak yang berkuasa dalam lingkungan kerajaan yang gemar beristri seratus, dan akhirnya menjadi lebih baku ketika Negara mengambil perannnya kemudian mendorong lahirnya lembaga-lembaga dan organisasi fasis dengan jenggot panjang dan mengaku sebagai keturunan nabi, menghalalkan untuk membunuh para warga-warga pinggiran ketimbang membunuh para fasis yang duduk di birokrat atau melempar Molotov di jantung-jantung korporasi yang telah berabad-abad merusak lingkungan. Selanjutnya nilai-nilai patriarchal tersebut digugat, namun masyarakat telah terbentuk dalam sejarah panjang. Kemudian bertemu dalam sebuah ruang baru untuk mempertanyakan dimana keadilan, pasti terjawab dengan enteng berbuah kekecewaan untuk segelintir orang yang mengamini bahwa tulang rusuk sebelah kiri adalah kodrat seorang makhluk hidup tertentu. Dan ia tersesat bahkan tidak berani mengambil keputusan 10 tahun kemudian ketika dihadapkan dengan persoalan sekat-sekat kepercayaan warisan sahabat nabi, 2 kisah yang laluinya berujung dengan lingkar labirin dan membuatnya berlutut untuk tidak mengambil keputusan apapun karena ada wilayah lain yang menurutnya harus dijaga. Tapi setelah dipikir ulang bukan hanya karena persoalan wilayah lain, tapi memang karena orang yang dipilih juga masih berpikir dengan sisa-sisa warisan ajaran sahabat nabi. Mereka bertiga berjalan untuk mendiskusikan hasil catatannya di rakit kecil pinggir sungai pangkatan, berujung pada sebuah malam dengan api kecil di depan posko yang dibakar dari kayu-kayu pungutan ketika pulang dari sungai. Sebuah pesan masuk ke hp Nya yang kuat menangkap sinyal liar, besok kawan-kawan akan sampai. Si Im tak jemu-jemu menghardiknya di malam itu, bahkan Im bingung bahkan bercampur kesal karena logika kiri tradisionalnya berhadapan dengan ide-ide bakunin yang baru saja dipelajarinya. Longmarch 7 kilometer, petani Pangkatan bergabung dengan petani sekitar kecamatan mereka yang bernasib sama, Jalan lintas Sumatera macat. Mereka benar-benar meninggalkan bangku perkuliahan, 2 tahun dilalui tinggal di pangkatan, kembali ke Medan hanya untuk duduk dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian pertengahan dan akhir semester, ataupun mendaki gunung tertinggi di Sumatera Utara kemudian bertemu dengan orang yang berpakaian serba putih di tengah pendakian, tanpa ragu setelah menoleh kebelakang orang tersebut hilang tanpa jejak. Ternyata banyak kawan-kawan mereka yang sebenarnya sama-sama berasal dari kota Medan juga meninggalkan perkuliahan dan hidup di pesisir Timur pantai Sumatera, berteman dengan nelayan tradisional yang berkonflik dengan cukong-cukong bermodal Pukat Trawl, dalam pertemuan yang sudah disepakati akhirnya bertemu dalam sebuah pertemuan di pusat kota kabupaten yang mereka tempati, membicarakan membentuk sebuah koalisi untuk sebuah perhimpunan perjuangan. Sabotase, penyerangan, dan membangun benteng pertahanan adalah topic yang berpuluh kali dibicarakan dalam diskusi koalisi. Campur tangan sebuah NGO akhirnya membuat semangat mereka meredup, mungkin hal ini juga ketidakmampuan mereka mengkemas sebuah konsep perjuangan yang panjang. Satu tahun mereka tak pernah kembali ke pulau yang sebenarnya bukan pulau tersebut, pindah ke sebuah lokasi dalam sebuah pertempuran panjang, melawan kebiadaban korporasi Pulp yang ternyata sama dimiliki oleh perampas tanah di negeri pangkatan, Mobil angkutan umum yang melewati jalan berliku diantara tebing curam tanah batak dinikmatinya dengan hati-hati, dan tiba-tiba saja harus lari sekuat tenaga, menyeberangi sungai dengan sebelumnya diancam oleh letusan-letusan seragam fasis, mengirim pesan ke seluruh kawan-kawan, dan harus satu malam bersembunyi di tengah hutan menunggu kondisi aman untuk kembali ke posko utama, mendapat kabar terbaru bahwa seorang kawan telah tertangkap dan menghabiskan waktunya setahun dalam pengasingan, untuk advokasinya tidak pernah serius ditangani oleh tim advokasi, dalam masa kebebasannya pertama kami dikagetkan dengan teman tersebut bangun di sepertiga malam untuk mengucapkan “Siap Komandan”. Hal ini membuat kami tidak nyenyak untuk tidur dalam masa istirahat selanjutnya. Dalam sebuah perjalanan yang tak kurang dari duapuluh tahun akhirnya korporasi itu tutup dengan mengorbankan puluhan warga tertimbun longsor dan 3 orang tewas teraniaya, Ia kembali membaca kitab yang telah lama ditutupnya, sebuah kitab yang disampulnya berlambang (A), Ia kembali pulang ke tanah kelahirannya, mendirikan sebuah organisasi mahasiswa dengan identitas kedaerahan, berlanjut dengan sebuah keharusan untuk mengulang semester baru perkuliahan di jurusan yang berbeda, disekelilingnya merasa tak yakin bahwa Ia akan menyelesaikannya, 4 tahun Ia bergelut dengan pagi dari pertengahan September 2005 hinggah 2010, pagi yang menjemukan, dan dibayarnya dengan sebuah acara wisuda, dan dinobatkan sebagai wisudawan terbaik untuk semua jurusan. Tapi bukan hanya untuk mengabdi demi wisudawan terbaik, karena Ia selalu gelisah, dan bermain dengan wilayah konflik baru yang tak kurang dari 8 kilo meter dari tempatnya istirahat. Sebuah konflik pertanahan menyedot waktunya setelah pulang kuliah untuk tetap disana, menyampaikan sebuah logika hukum formal yang tak berujung dan membawa arit untuk kembali menyemangati semangat yang tercecer akibat sebuah pertarungan panjang dan membuahkan korban tewas ataupun cacat di ujung tombak atau sabetan golok, ya, sebuah kampung yang disebut sebagai kampung guntang-guntang di tengah himpitan perkebunan sawit, dimana Paklik Melan selalu setia menepati pesanggrahannya sembari melakukan domestifikasi binatang, walaupun akhirnya peternakaannya di sudet habis oleh pasukan bertopeng perkebunan yang di saat malam lengah mereka leluasa mengkelebet ternak milik Paklik Melan. Segelas tuak membuat Ia dan teman-temannya dapat beristirahat dengan sempurna, diberi sebuah bonus mimpi indah dari hasil joinan Ridwan dan Jibril di tengah malam yang syahdu. Pengaharaman akan sesuatu yang bisa membuat mabuk ditendangnya jauh-jauh, karena Ia kesal dengan sejuta ceramah ulama yang hanya mampu membuat dalil-dalil palsu. Tapi Ia lebih kesal disaat mengingat malam di pertengahan ramadhan 2009, dengan 4 orang yang dibentuk dalam sebuah tim penghancur, Ia dan sahabat karibnya bersepakat untuk melempar tiga Molotov ke sebuah kantor yang menjadi mitra perkebunan dan telah merampas tanah warga, namun setelah ledakan dasyat itu yang terjadi justru sahabat karibnya berbalik arah, bekerja sebagai tim keamanan perkebunan. Sebuah perang panjang dalam sebuah pertemuan di meja minuman yang memang tak sempat meledakkan pistol di saku. Ini bukan sebuah kisah Fransisco Sabate Llopart, yang ikut dalam kelompok Gerilya anarkis yang menyerang Catalonia dari markas mereka di Perancis dalam 1936, ataupun kisah Roman Cavdevila yang mampu bertahan lama dalam serangan-serangan mus

Bukan Musim Durian

Malam Tak Berujung Muhammad Afandi - Ojudista Musim durian telah tiba, biasanya akan membanjiri pasar-pasar tradisional di pinggiran kota Medan hinggah Supermarket Ternama di penghujung Agustus. Dan jika kita tidak ingin bermalas diam diri di rumah atau sibuk memburu barang-barang baru di Mall, maka kita bisa memacu sepeda motor dengan pasangan tercinta ke arah dataran tinggi menuju perbatasan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Tanah Karo, di sepanjang jalan akan tampak buah durian di gantung dengan tali berbahan plastik dalam gubuk-gubuk kecil yang akan disandingkan dengan buah-buah segar lainnya dan tentu saja akan dengan tiba-tiba kita akan menginjak rem sepeda motor untuk segera menawar dengan harga yang fantastis. Mencicipinya langsung di tempat akan menambah kenangan manis semanis rasa buah yang tak pernah menipu dengan label buah organik, atau dengan niat tulus untuk dibawa pulang agar calon mertua dapat memberikan jalan mulus bagi hubungan yang sebenarnya tidak pernah diinginkan untuk berakhir di sebuah pelaminan. Mulai dari harga sepuluh ribu dengan berat 2.5 kilo gram hinggah seratus ribu dengan ukuran jumbo dan berat hampir sama dengan 24 kaleng susu yang diisi beras. Buah berduri itu memang sering dipadukan dengan minuman tradisional yang bernama tuak berbahan nira ataupun kelapa, tentu saja mulutmu akan berbau busuk jika meminumnya terlalu banyak, apalagi ocehanmu dimulai dari urusan dapur, cicilan sepeda motor, kejengahan akan monotonnya hidup, dan sesekali memunculkan ide untuk melempar Molotov ke kantor-kantor yang di depannya berdiri tegak tiang diatasnya terpasang kain berwarna merah putih. Lapo tuak terlihat padat dengan berjubelnya manusia dari segala usia. Jika sudah dicampur dengan durian, tuak akan menjadi lebih kental berwarna putih laksana sisa cucian air beras. Aromanya menjadi lebih khas. Letihmu akan hilang jika hati ke hati sesama peminum tuak dipadukan dengan jiwa yang bebas daan merdeka. Tidak tahu pastinya, tapi jika diingat di pertengahan Agustus 2006, kami berempat yang telah kenal dan bersahabat dari tahun 2000 diajak oleh seorang teman bernama Sofi ke sebuah kampung yang bernama Tungkusan. Aku, Ju, Sa dan Nu tiba di kampung kecil yang gelap itu selepas waktu isya. Sewaktu membuka kaus kakiku, aku mencium aroma buah berduri itu, pasti ada durian di dalam rumah ini. Perkenalan singkat pun dimulai, kuperkenalkan namaku dengan nama yang memang tak ada sedikitpun mirip dengan nama asliku. Tuan rumah menceritakan masa lalunya dengan nada yang terputus-putus. Sebatang rokok kubakar perlahan, Sa mengeluarkan mancis pertanda bahwa dia juga seorang perokok. Ju dan Nu menungguku untuk membuka plastik pembungkus, ya karena rokok itu baru saja kubeli. Bapak itu bercerita sangat pelan, matanya menatap tajam ke arah jalan, yang terlihat samar dari tempat kami berkumpul dengan jaring-jaring kawat sebagai penutup terasnya. Tungkusan bukanlah sebuah desa, melainkan sebuah dusun kecil yang berpenghuni tak lebih dari 200 KK, setengah penduduknya tinggal di rumah-rumah dengan ukuran yang sama dan berbentuk yang juga sama, rumah-rumah perkebunan untuk kelas pekerja dari golongan yang paling rendah. Di seberang jalan tumbuhlah sangat rimbun dengan jumlah 100 pohon per hektarnya tanaman dengan nama kelapa sawit, tanaman yang di idolakan sebagai sumber devisa bagi Negara, tapi itu salah, yang kutahu itu tanaman yang kuberi julukan sebagai monster, karena penyerap air paling tinggi, hinggah jangan berharap akan tumbuh tanaman tumpang sari di sekelilingnya, jikapun tumbuh tetap saja tak se subur yang diharapkan. Kelapa sawit merupakan tanaman idaman bagi puluhan orang yang dikategorikan sebagai orang terkaya di Indonesia bahkan Asia sebagai tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, apalagi jika mengantongi konsesi dengan luas ribuan hektar. Minyak bumi bakal habis, maka agama baru yang bernama global warming segera didengungkan, pelaku usaha yang bergerak di bidang biofuel akan segera mendapat legitimasi, dan memindahkan bisnisnya ke jenis tanaman ini. Pengalihan isu dari bisnis minyak yang terbatas segera dialihkan ke bisnis bahan bakar alternative yang bersumber dari jenis tanaman ini. Jika kamu berjalan lurus melewati perkebunan sawit tersebut, bertemulah kamu dengan sebuah sungai yang bernama Sei Bahasa. Pada masa dulunya, ada sebuah kerajaan kecil dibawah wilayah kekuasaan Kesultanan Deli yang bernama Kerajaan Bahasa, tak kurang dari 4 kilo meter kita akan menemukan sisa kerajaan bahasa tersebut. Dan jika kamu berjalan ke arah kiri hingah 6 kilo meter dari rumah yang kami diami, sampailah kita di sebuah dusun yang bernama Sinembah. Jika kita membuka kembali buku sejarah perkebunan di tanah Deli maka kita akan teringat sebuah perusahaan Senembah, dimana terdapat 15 perkebunan tembakau di Deli yang dimiliki perusahaan Senembah pada tahun 1889, mungkin dusun sinembah diambil dari nama perusahaan tersebut. Tentu saja kita tidak akan melupakan seorang pahlawan nasional beraliran kiri dengan gagasan Madilognya pernah menjadi guru untuk kuli perkebunan di perusahaan Senembah tersebut pada tahun 1921 atas tawaran direkturnya Dr. C.W. Janssen. Aku, Sa, Ju dan Nu beserta Sofi tetap setia mendengarkan cerita Tuan rumah, hinggah kami paham bahwa ada sebuah konflik di dusun tersebut, yang melibatkan 4 dusun lainnya. Tahun 1954, Tanah seluas 922 Ha dengan nama tanah Suguhan diberikan oleh negara kepada masyarakat yang dibagi menjadi 2 nama, Persil IV dan V. 525 Ha untuk Persil IV dan sisanya untuk Persil V. Hak mereka untuk mengelolah tanah tersebut dijamin oleh Negara yang selanjutnya diatur dalam undang-undang pokok Agraria tahun 1960. Tempat kami malam itu tepatnya di Persil IV. Tanpa ada isyarat apapun dalam rezim selanjutnya pada tahun 1972 mereka dipaksa untuk menyerahkan tanah meraka tanpa ganti rugi apapun. Sebagian harus lari keluar dari desa, dan sebagian tetap bertahan di gubugnya untuk melihat tanaman mereka dibabat dan dibakar, dan segerombolan tentara dengan mata memerah berteriak “Jangan macam-macam dengan Negara”,. Tanaman siap panen yang akan menjadi tabungan untuk melanjutkan sekolah sang anakpun harus direlakan dibakar. Jika kamu melawan maka cap PKI akan ada di dirimu selamanya. Ya, tepatnya pada tahun 1970, Negara dengan gencarnya melakukan penyulapan, menyediakan lahan secara besar-besaran untuk akumulasi modal dalam bidang perkebunan Kelapa Sawit. Kami berlima diam seribu bahasa mendengar cerita dari sang Tuan rumah, bau durian yang mengendap di kepalaku berubah menjadi bau kaus kaki yang lupa kuganti selama 6 hari. Tapi sang tuan rumah justru masuk ke dalam rumah, kami berbisik tak tentu arah saat ia pergi. Ia kembali dengan sebuah pisau pendek. Kalian doyan durian ? Yang membuatku bingung ia menawarkan durian tapi buah itu tidak tampak di depan kami, hanya pisau pendek yang ia letakkan di atas meja. Aku tak tahu Goni Putih yang berjarak 4 meter di belakang kursi tuan rumah berisi durian. Dengan lagak yang sok pintar aku menolak tawarannya untuk dibelahkan duriannya. Aku pun mulai mencari ujung buah berduri tersebut, ku congkel dengan potongan yang menyilang. Kumasukan jariku ke lubang ujung yang telah kubelah dengan pisau. Kutarik sekuat tenga dengan harapan buah akan terbuka. “Bukan begitu caranya anak muda”. Tanpa berpikir panjang kuserahkan buah tersebut kepadanya. Dalam hitungan 25 detik buah tersebut telah terhidang di depan kami. Malam itu kami berkelakar, lupa waktu. Entah kenapa setelah kami menghabiskan 5 buah berduri itu, kami seperti darah tinggi. Di atas tanah tersebut beberapa kaum perempuan telah jatuh tersungkur di tahun 2005 karena ditabrak traktor yang dikawal oleh polisi disaat mereka melakukan pendudukan lahan di tanah berdarah tersebut. Sejak tahun 1972 hinggah sekarang di atas tanah tersebut disebut sebagai tanah berdarah. Tanaman diatasnya yang diklaim sebagai asset Negara telah terbukti bukan sebagai asset Negara karena pada tahun 1999 muncul sebuah keputusan dari sebuah Badan yang berhak untuk melakukan pengukuran atas tanah menyatakan bahwa itu bukan tanah yang Berhak Guna Usaha, maka klaim sebagai tanah yang ber Hak Guna Usaha dan Aset Negara menjadi gugur. Beberapa kaum laki-laki diatas tanah tak bertuan tersebut jatuh dan bergelimang darah. Menahan luka hinggah sekarang. Sebuah keputusan kami ucapkan dengan singkat di malam itu “Kita jangan menyerah”. Pembicaraan lanjutan di sebuah rumah kecil kota Medan menghasilkan beberapa hal yang harus ditindak lanjuti, dalam sebuah rapat diambil sebuah keputusan penting. Semua program kemahasiswaan dalam organisasi dibatalkan dan akan diganti dengan sebuah program baru di tanah Persil. Malam-malam dilalui dengan sebuah kordinasi antar dusun. Motor akan berhenti tiba-tiba untuk sampai di sebuah dusun Batutak, bagian dari 5 dusun dalam Persil IV karena tanah merah yang sebelumnya diguyur hujan akan menempel di sela-sela bodi-bodi motor. Dan Kamu akan ditimpah dengan dua pilihan, menuntun motor dengan berat hinggah sampai ke dusun Batutak atau kembali lagi ke Posko utama dengan konsekuensi rapat yang gagal. Dan sesekali kamu harus berhadapan dengan kondisi ban bocor kemudian bingung akan menambal dimana. dan bersiap-siaplah akan berhadapan dengan hal-hal aneh, yang tak pernah kamu pikirkan sebelumnya. Dalam sebuah bentrokan kecil di sebuah kantor pemerintah, berujung dengan penangkapan. Kembali lagi ke tanah Persil dengan ancaman ratusan pasukan bertopeng yang disewa oleh perusahaan yang merampas tanah masyarakat. Dan tepatnya di tahun 2008 kami berkunjung ke desa seberang untuk sekedar menghadiri sebuah undangan informal. Sajian minuman tradisional yang memabukkan membawa kami dalam sebuah perjalanan pulang yang menyesatkan, melewati hutan persawitan, yang konon di suatu tempat di tengahnya terdapat sebuah markas pasukan bertopeng yang tidak segan-segan akan menombakmu dengan benda tajam yang beracun. 2 jam kami berputar tanpa arah. Ya telah 2 tahun kami tinggal di kampung tersebut. Bukan sebuah kisah heroic yang berharap sesuatu hadiah tanah surga. Tapi kami harus berjalan selama 6 jam mengelilingi lahan konflik tersebut dengan mulut tertutup dan segala atribut yang bermuatan simbolik. Pada tahun 2009 sebuah jembatan menjadi sebuah saksi bisu, ratusan orang bayaran dengan senjata tajam ada di seberang jembatan. Kami bersama warga menunggu sebuah isyarat untuk mendengar sebuah lonceng perang. Jika lonceng itu dipukul maka sah pertempuran akan dimulai. Dari balik semak-semak terlihat jelas dari kejauhan 100 meter, sekelompok orang dengan topeng memegang senjata tajam. Membawa suatu dendam, dan pada malam di pertengahan ramadhan kami berempat mempersiapkan sesuatunya dengan hitungan yang matang. 2 botol berisi bensin dengan sumbu yang basah kami sulut dengan mancis dan dilempar dengan pasti ke sebuah rumah yang menjadi kantor bos pasukan bertopeng. Dilanjutkan dengan sebuah perjamuan dirumahku untuk sahur dan memukul bola dalam meja biliyard. Tapi aku harus menerima sebuah pengalaman pahit, salah satu dari kami akhirnya bekerja dan mejadi komandan regu diantara pasukan bertopeng tersebut. Sebuah senyum kematian telah terpatri sejak itu. Setelah pertemuan mendadak di malam itu, aku harus segara pulang kerumah. Karena esok lembar jawaban harus kuisi dengan dalil-dalil hukum yang menyesakkan dalam sebuah ujian akademik yang harus kuselesaikan. Kupacu sepeda motorku berbahan bakar campur. Aku lupa di depan ada tikungan tajam, ya pukul 1 malam itu mengantarkanku untuk mencium parit kering berumput sedalam dua meter, 2 jam dalam tindihan motor. Ketidaksadaranku dalam pengaruh minuman tradisional tidak bisa membuatku untuk bergerak sedikitpun. Kepasrahanku mengajakku untuk menyebut nama kebesaran Tuhan. Secara tiba-tiba motor yang menindihku dapat kusingkirkan secara perlahan. Akhirnya aku bisa merogoh telepon genggamku untuk menghubungi salah seorang teman di posko. Dalam hitungan 10 menit akhirnya kami berusaha untuk menarik motor yang terperosok di parit tersebut. Dua kali sudah pertemuan besar dilakukan untuk merefleksikan, mengevaluasi, dan menyusun strategi. Baru kami sadari telah 4 tahun kami disana. Dalam sebuah bentrokan yang tidak seimbang di pertengahan April, 1 orang pergi untuk selamanya ke taman Firdaus.

TERLALU POLOS

Seorang anak kecil berumur sekitar 5 tahun, pulang kampung bersama papa, mama dan adeknya ke kampung halaman. Kakenya yang masih muda berkisar 40an tahun tentu merasa sangat bangga, kebanggaan itu dia curahkan dengan mengajak cucu pertamanya itu untuk bermaim, jalan ke warung tempat sang kakek nongkorong. Setelah beberapa lama tinggal di kampung, kedekatan sang cucu pada kakek semakin dekat sehingga kemanapun kakeknya selalu minta ikut, demikian sang kakek merasa sangat senang dan terus berusaha mengajak cucunya bepergian. Sungguh sikap kakek merindukan cucu dan sangat menyayanginya. Pada suatu sore, sang kakek mengajak si cucu untuk mandi di tempat pemandian, seusai mandi rupanya anak kecil yang masih polos ini tidak terbiasa mandi bersama dengan orang besar, apalagi dengan kakenya yang tinggal dikampung. Tentu dia menyimpan rasa heran. Seusai mandi mereka pulang ke rumah, sesampai dirumah rasa heranya saat mandi terus membayangi si bocah cilik itu. Sesampai di teras rumah, rupanya mamanya (menantu) dengan neneknya sedang duduk-duduk bercerita. Tanpa basa-basi si mama langsung bertanya sama anaknya ! “uda mandi nak, sama siapa mandinya ? tanya si mama penuh senyum “ dengan muka polos bocah kecil yang masih berada disamping kakenya itu langsung menjawab dan melampiaskan perasan heranya saat mandi : “sama kakek..wihhhh…..gileeeeeee ma, pentungan kakek segini” sembari mengacungkan lengan kananya berdiri tegak dan tangan kiri memegang sikunya. “ha ha ha ha….hati-hati kakek ….!” hati-hati bawa anak pulang kampung cuy....!!! oleh Juson Alie'ha Pande

Bermain-main dalam Rimba Sosialisme dan Kapitalisme “berjalan, menyelam, tersesat, dan mencari jalan keluar”

Bagian Pertama a. Runtuhnya Model Marxis Pemikiran Marx menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekonomi, dan filsafat kritis. Yang terakhir filsafat kritis, berinspirasi dari pemikiran Karl Marx, menjadi salah satu aliran utama dalam filsafat abad ke-20. Sementara ini banyak kategori pemikiran Marx sudah memasuki kawasan filsafat dan ilmu-ilmu sosial lain, bahkan dalam diskursus politik, sosial, ekonomis, dan budaya kaum intelktual hamper di seluruh dunia. Ada satu unsure khas bagi pemikiran Karl Marx : pemikirannya tidak tinggal dalam wilayah teori, melainkan sebagai ideology Marxisme dan komunisme, menjadi sebuah kekuatan sosial dan politik. Marx dan hanya Marx, mengembangkan sebuah pemikiran yang pada dasarnya filosofis, namun kemudian menjadi teori perjuangan sekian banyak generasi gerakan pembebasan. Marx sendiri memang tidak pernah memahami pemikirannya sebagai usaha teoritis-intelektual semata-mata, melainkan sebagai usaha nyata dan praktis untuk menciptakan kondisi-kondisi kehidupan yang lebih baik. Marxisme tidak sama dengan komunisme, komunisme yang juga disebut komunisme internasional adalah nama gerakan kaum komunis. Komunisme adalah gerakan dan kekuatan politik partai-partai komunis yang sejak revolusi Oktober 1917 di bawah pimpinan W.I Lenin menjadi kekuatan politis dan ideologis internasional. Istilah komunisme juga dipakai untuk ajaran komunisme atau Marxisme-leninisme yang merupakan ajaran atau ideology resmi komunisme. Jadi Marxisme menjadi salah satu komponen dalam system ideologis komunisme. Kaum Komunis memang selalu mengklaim monopoli atas interpretasi ajaran Marx dengan maksud untuk memperlihatkan diri sebagai pewaris sah ajaran Marx tersebut. Perlu diperhatikan bahwa sebelum dimonopoli oleh Lenin, istilah komunisme dipakai untuk cita-cita utopis masyarakat, di mana segala hak milik pribadi dihapus dan semuanya dimiliki bersama. Apakah sebenarnya Marxisme itu? Secara praktis dan ringkas pemikiran Karl Marx sebenarnya muncul dikarenakan adanya eksploitasi dari kaum borjuis terhadap kaum proletar dalam suatu proses produksi sebagai akibat dari adanya sistem kapitalisme (Woodfin, 2008). Sistem kapitalisme awal yang dimaksud disini adalah kapitalisme pada masa setelah revolusi industri berlangsung (yang menandai berakhirnya sistem feodal) dimana dipergunakan teknologi dalam industri yang menyebabkan peran buruh menjadi kurang. Pihak borjuis yang menguasai sarana produksi dapat dengan mudahnya mendapatkan penghasilan karena bisa melakukan proses produksi. Sebaliknya kaum proletar (para buruh) yang pendapatannya tergantung dengan kaum borjuis semakin terpojok akibat kapitalisme yang menggantikan posisi mereka dengan teknologi baru (Pozzolini, 2006). Berawal dari sinilah terjadilah antagonisme kelas antara kaum borjuis dan proletar. Puncak dari antagonisme ini adalah revolusi yang menghasilkan persamaan kedudukan antara kaum borjuis dan proletar (Woodfin, 2008). Marx sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, seorang filsuf politik yang menempatkan rasionalitas dan kebebasan sebagai nilai tertinggi. Marx muda sangat tertarik dengan filsafat Hegel dan dari filsafat Hegel inilah ia mengajukan sebuah pertanyaan (yang berkaitan dengan kondisi reaksioner Prussia terhadap masyarakatnya) yang selanjutnya akan menjadi dasar teori Marxisnya yakni, ”bagaimana membebaskan manusia dari penindasan sistem politik reaksioner (Prussia)?” Saat itu Marx tergabung dalam suatu kelompok bernama Klub Para Doktor dan menjadi kaum Hegelian-muda yang sangat mengkritisi pemerintah Prussia. Yang unik dari statusnya sebagai penganut Hegelian-muda adalah ia sendiri oposisi terhadap filsafat Hegel sebab Hegel diklaim sebagai teolog Protestan yang mendukung Prussia dan Marx tidak setuju akan hal ini. Oleh karena itu Marx disebut juga sebagai Hegelian Kiri. Berstatus sebagai seorang Hegelian kiri pemikiran Marx terus mencoba menggali filsafat Hegel dan menemukan sebuah ketidakkonsistenan pada kondisi masyarakat Prussia yang berada dibawah tekanan pemerintah dengan kondisi masyarakat Prussia yang digambarkan sebagai masyarakat rasional dan bebas oleh Hegel Pemikiran ini terus berkecamuk dalam pikiran Marx hingga akhirnya ia menemukan teori Feuerbach yang mengungkapkan bahwa ciri reaksioner negara Prussia adalah suatu ungkapan sebuah keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Pindah ke Paris Marx kembali menelusuri pertanyaannya tadi dengan pertanyaan dimanakah Marx bisa menemukan keterasingan itu. Dari interaksinya dengan beberapa tokoh sosialis seperti Proudhon dan Friederich Engels ia menemukan jawaban bahwa keterasingan berlangsung dalam proses pekerjaan manusia, dan pekerjaan akan menjadi identitas manusia. Namun sistem hak milik pribadi kapitalis yang sarat eksploitasi justru membuat manusia mengasingkan diri. Mengerti akan hal ini Marx kemudian semakin memusatkan perhatian kepada syarat-syarat penghapusan hak milik pribadi. Ia mengklaim bahwa konsep sosialisme yang dimilikinya adalah sosialisme ilmiah yangtidak hanya didorong oleh cita-cita moral, melainkan berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang hukum-hukum perkembangan masyarakat. Dari sinilah pendekatan Marx akhirnya berubah dari yang bersifat filosofis menjadi semakin sosiologis. Sosialisme dipandang sebagai paham sejarah yang materialistik yang mana dimengerti sebagai dialektika antara perkembangan bidang ekonomi dengan struktur kelas sosial. Dari pemahaman tersebut Marx berpendapat bahwa faktor yang menentukan sejarah bukanlah politik atau ideologi melainkan ekonomi. Perkembangan dalam cara produksi lama-kelamaan akan membuat struktur hak milik lama menjadi hambatan kemajuan. Dalam situasi ini akantimbul revolusi sosial yang melahirkan bentuk masyarakat yang lebih tinggi. Sebagai kesimpulan dari pemikirannya, Marx menjelaskan bahwa kapitalisme tidak akan pernah berjaya karena akan timbul revolusi buruh yang akan menghapus hak milik pribadi atas alat-alat produksi dan mewujudkan masyarakat sosialis tanpa kelas Inilah yang selanjutnya disebut sebagai paham Marxisme oleh pengikutnya (Marx sendiri tidak pernah berkata bahwa pendapatnya ini adalah sebuah teori atau paham, bahkan ia sendiri mengelak untuk disebut sebagai seorang Marxis). Satu hal yang bisa digaris bawahi dari penjelasan sedikit ini adalah Marx menolak secara tegas adanya ketidakseimbangan kelas antara proletar dan borjuis dan menghendaki adanya revolusi proletariat. Inilah tugas yang seharusnya dilakukan oleh kaum proletar untuk mendapatkan kesetaraan dan haknya kembali yakni menggulingkan kapitalisme dengan menggebrak kaum borjuis (Pozzolini, 2008). Dengan adanya revolusi maka kesetaraan akan didapatkan kembali dan utopianisme untuk membuat masyarakat dunia yang sosialis akan terbantahkan. Dunia yang dicita-citakan dimana hak milik pribadi dihapuskan dan menjadi hak bersama bukanlah hal yang mustahil (Suseno, 1999). Hal ini pun akan semakin membuktikan bahwa pemikiran Karl Marx bukan hanya bersifat filsafati namun sangat ilmiah (sosiologis) dan dapat diaplikasikan. Namun demikian sepertinya utopianisme itu benar-benar terjadi, terbukti dengan runtuhnya rezim komunis terbesar di dunia yakni bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 setelah partai komunis gagal mendapatkan suara dalam pemerintahan (Suseno, 1999). Berakhirnya Perang Dingin antara blok Barat (Amerika Serikat) dan Timur (USSR) yang kemudian dimenangkan oleh Amerika Serikat memicu dunia untuk meniru sistem politik dan ekonomi yang dianutnya. Nilai-nilai liberal mengenai demokrasi dan individualisme kembali mencuat ke permukaan dan kapitalisme mucul dengan wajah baru, globalisasi (Gilpin, 2000). Era pasar bebas ini menuntut setiap negara untuk berjuang memperdagangkan keunggulan komoditas negaranya ke pasar internasional. Kemajuan teknologi dalam bidang informasi terutama semakin memacu percepatan denyut nadi globalisasi. Melihat kenyataan ini maka akan secara jelas kita pertanyaan, ”Mengapa hipotesis marxisme terhadap runtuhnya kapitalisme di kemudian hari tidak terbukti?” Sebelum menjawab pertanyaan ini penulis akan menjelaskan pembahasan ini ke dalam 3 pembahasan yakni pembahasan mengenai pemikiran Karl Marx terhadap Marxisme, pembehasan mengenai globalisasi, serta pembahasan mengenai ketidak relevansian Marxisme dalam era globalisasi. b. Globalisasi: suatu kritik terhadap Marxisme I Melihat fenomena runtuhnya komunisme internasional dan munculnya kambali sistem kapitalis maka dapat dengan tegas dikatakan bahwa teori Marxisme tidak terbukti dengan melihat realita bahwa momok kapitalis kembali muncul dan bahkan semakin meluas pahamnya. Marxisme pun dikatakan gagal karena pemikirannya tentang ’buruh’ dan ’tuan tanah’ hanya bertahan hingga revolusi komunis yang menyebabkan ekspansi gerakan sosialis-komunis ke seluruh dunia dan dengan sekejap muncullah negara-negara sosialis-komunis pada awal tahun 1900an. Datangnya globalisasi yang semakin gencar menggaung pasca Perang Dingin dengan hadirnya Amerika sebagai negara adikuasa membuat kekuasaan komunis di dunia serasa tergerus oleh revolusi kapitalis (yang mirip terjadi pada revolusi borjuis dari sistem feodal menuju sistem kapitalis). Hal yang terjadi justru mengalahkan paham Marxis-Leninis dunia dimana kapitalisme globalisasi menghantui dunia hingga saat ini. Pemikiran kritis mengenai kegagalan ini segera di tangkap oleh Antonio Gramsci, seorang penganut sosialis Marxis yang kembali merekonstruksi ideologi Marx. Menurut Gramsci munculnya globalisasi yang sangat berkebalikan dengan ramalan Marx bahwa negara sosialis akan tumbuh di seluruh dunia dan menghancurkan kapitalis Barat pasca lahirnya negara-negara komunis justru diakibatkan karena deteriminisme ekonomi Marx yang memilih proletar industri sebagai kelas yang dianggap bisa mewakili revolusi buruh. Menurut Gramsci proletar dapat menjadi tidak revolusioner karena kaum borjuis mengontrol ide kaum proletar dengan memanipulasi kesadaran sosial mereka (ini disebut dengan hegemoni pemikiran). Akibatnya dalam masyarakat liberal yang demokratis perjuangan revolusioner akan menjadi lebih lama dan melibatkan ide-ide kebudayaan daripada sekedar perjuangan ekonomi dan politik (Pozzolini, 2006). Berdasarkan penjelasan Gramsci di atas terbukalah jawaban mengapa Marxisme tetap tidak dapat membendung masuknya kembali ideologi ekonomi kapitalis dalam era globalisasi. Lenin pun angkat bicara dan meramalkan bahwa globalisasi adalah puncak dari keruntuhan ideologi kapitalis (Woodfin, 2008). Masuk dalam pemikiran Lenin ini, penulis mencoba menalarkan kondisi globalisasi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi sosial ekonomi pada masa borjuis dan proletar Marx. Seperti yang sudah penulis ungkap sebelumnya adanya globalisasi ternyata membawa efek buruk pada negara kecil dan lemah yang tidak bisa mengendalikan pola globalisasi dunia karena keterbatasannya di bidang ekonomi dan teknologi. Hal ini akan membuat negara yang memiliki kekuatan kecil (dalam hal ini sering dikatakan sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga) akan hidup di bawah bayang-bayang negara maju. Kondisi ini sama seperti kondisi dimana negara dunia ketiga identik dengan kaum proletar sedangkan negara dunia pertama identik dengan negara maju yang umumnya adalah negara eksportir/ negara produsen. Realisasinya negara dunia ketiga hanya berfungsi sebagai pasar negara maju dimana negara dunia ketiga ’terpaksa’ untuk mengimpor komoditas negara maju. Gagasan Gramsci-Lenin kembali bermain di sini dimana menurut mereka revolusi akan terjadi pada era globalisasi ini. Analisis di atas bisa saja benar atau salah. Menurut penulis sendiri analisis tersebut bisa saja salah dengan tetap langgengnya ideologi kapitalis di dunia ini. Hal ini penulis dasarkan dengan anggapan bahwa globalisasi tidak akan pernah terhenti dengan munculnya grup-grup ekonomi regional yang terintegrasi. Sebagaimana diketahui tujuan dari integrasi regional adalah memberikan benteng perlindungan bagi setiap negara yang turut di dalamnya untuk bersatu menghadapi globlisasi ekonomi. Terintegrasinya beberapa negara menjadi sebuah kesatuan justru akan memperkuat posisi negara tersebut. Walaupun nantinya konsep kedaulatan negara akan sedikit kacau karena integrasi membawa kepada kesatuan komunitas internasional yang penuh integrasi akan mampu menyeimbangkan posisi multipolar dunia sehingga berada pada posisi balance of power. Dalam posisi seperti ini penulis meyakini bahwa paham Post-Marxisme maupun Neo-Marxisme akan sulit untuk menembus dinding integrasi. c. Suatu kritik terhadap Marxisme II Hegemoni Tafsir atas hegemoni Gramsci mengatakan hegemoni berarti “kepemimpinan moral dan filosofis”, kepemimpinan yang dicapai lewat persetujuan yang aktif kelompok-kelompok utama dalam suatu masyarakat (Bocock, 2007:1). Sedangkan Steve Jones memahami hegemoni Gramsci sebagai cultural and political leadership (Jones, 2006:3). Ditinjau dari istilahnya, kepemimpinan meluas pada arti proses/operasi, pembentukan/pengarahan. Sementara jika ditinjau dari ruangnya, hegemoni bekerja pada wilayah yang menyeluruh: moral, filosofi, budaya, dan politik. Dari ruang tersebut bisa dipahami bahwa hegemoni bekerja melalui instrumen-instrumen yang sangat masif, yaitu negara, modal, agama, pendidikan, media massa, dan lain sebagainya. Teori hegemoni Gramsci berangkat dari refleksi terhadap marxisme yang ekonomisme, yang memandang perekonomian –perekonomian adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dominan produksi dalam suatu wilayah dan waktu tertentu. Perekonomian terdiri dari sarana teknis produksi dan hubungan-hubungan sosial yang dibangun berdasarkan kepemilikan atas sarana produksi (lihat Bocock, 2007:34-35) –sebagai pusat terjadinya masalah sosial. Ketika masalah dalam perekonomian selesai, maka selesai pula masalah sosial. Gramsci melihat pandangan itu keliru. Menurutnya, apa yang terjadi pada kehidupan sosial tidak hanya karena pengaruh perekonomian, tetapi juga karena negara dan lembaga-lembaga masyarakat. Dengan kata lain, Gramsci ingin menekankan aspek lain yang tak kalah penting dari pemikiran Marx: politik. Gramsci melihat hegemoni tidak hanya terjadi pada kelas-kelas tertentu yang dibedakan berdasarkan ekonomi, tetapi juga pada masyarakat sipil yang jauh lebih kompleks. Gramsci terinspirasi pula oleh apa yang dilakukan Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dalam usaha mendapatkan dukungan rakyatnya. Misalnya pada saat menghadapi Tsarisme. Lenin sadar dirinya harus mendapat dukungan sebagian besar rakyatnya agar dapat menggulingkan Tsarisme. Lenin kemudian memikirkan strategi untuk mencapai kesadaran para pekerja untuk beraliansi dengan kelompok-kelompok lain, yang di dalamnya termasuk kritikus borjuis, petani, dan intelektual. Kesadaran kelompok-kelompok ini bagi Lenin merupakan modal utama untuk menggulingkan Tsarisme. Lenin menyebarkan pengetahuan politik kepada para pekerja dan membaurkan para pengikut Partai Sosial Demokrat dengan segala kelas di masyarakat untuk mencapai kesadaran yang ia inginkan. Apa yang dilakukan Lenin itulah yang disebut Gramsci sebagai contoh hegemoni. Hegemoni beroperasi pada ranah suprastruktur. Oleh karena itu, seperti telah disampaikan di muka, hegemoni dicapai melalui persetujuan-persetujuan masyarakat, bukan dengan cara pemaksaan-pemaksaan fisik. Sampai di sini mungkin muncul pertanyaan tentang nilai hegemoni, mengingat hegemoni dicapai melalui persetujuan kelompok-kelompok utama dalam masyarakat. Persetujuan tidak mengandung makna negatif, tetapi justru sebaliknya. Suatu tindakan, aturan, atau kebijakan yang diambil berdasarkan persetujuan berarti baik. Dengan kata lain, hegemoni tidak berkonotasi negatif, karena ia dicapai melalui persetujuan. Jika muncul pernyataan demikian sebaiknya dipinggirkan terlebih dahulu. Ulasan soal strategi Lenin yang disampaikan di atas bisa ditinjau kembali. Dari ulasan tersebut bisa dipahami bahwa sesungguhnya persetujuan para pekerja terhadap Lenin adalah persetujuan semu. Artinya, persetujuan tidak dicapai secara murni oleh para pekerja sendiri. Ada kekuatan lain yang membentuk/mengarahkan sehingga tercapai persetujuan. Pada titik ini, hubungan dialogis yang menjadi poin krusial dari persetujuan perlu diragukan. Dalam ulasan yang disampaikan oleh Bocock di atas, Lenin sadar betul dirinya mesti memberi pendidikan politik kepada para pekerja sebagai usaha memperoleh dukungan untuk menggulingkan Tsarisme. Ada tujuan dan ada kesadaran untuk membentuk/mengarahkan sehingga publik menyetujui. Lenin mengikat para pekerja dan kelompok-kelompok lainnya dalam satu ideologi dengan tujuan menghancurkan Tsarisme. Di sinilah hegemoni menunjukkan nilainya. Melihat fenomena runtuhnya komunisme internasional dan munculnya kembali sistem kapitalis maka dapat dengan tegas dikatakan bahwa teori Marxisme tidak terbukti dengan melihat realita bahwa momok kapitalis kembali muncul dan bahkan semakin meluas pahamnya. Datangnya globalisasi yang semakin gencar menggaung pasca Perang Dingin dengan hadirnya Amerika sebagai negara adikuasa membuat kekuasaan komunis di dunia serasa tergerus oleh revolusi kapitalis (yang mirip terjadi pada revolusi borjuis dari sistem feodal menuju sistem kapitalis). Hal yang terjadi justru mengalahkan paham Marxis-Leninis dunia dimana kapitalisme globalisasi menghantui dunia hingga saat ini. Pemikiran kritis mengenai kegagalan ini segera di tangkap oleh Antonio Gramsci, seorang penganut sosialis Marxis yang kembali merekonstruksi ideologi Marx. Menurut Gramsci munculnya globalisasi yang sangat berkebalikan dengan ramalan Marx bahwa negara sosialis akan tumbuh di seluruh dunia dan menghancurkan kapitalis Barat pasca lahirnya negara-negara komunis justru diakibatkan karena determinisme ekonomi Marx yang memilih proletar industri sebagai kelas yang dianggap bisa mewakili revolusi buruh. Menurut Gramsci proletar dapat menjadi tidak revolusioner karena kaum borjuis mengontrol ide kaum proletar dengan memanipulasi kesadaran sosial mereka (ini disebut dengan hegemoni pemikiran). Akibatnya dalam masyarakat liberal yang demokratis perjuangan revolusioner akan menjadi lebih lama dan melibatkan ide-ide kebudayaan daripada sekedar perjuangan ekonomi dan politik. Berdasarkan penjelasan Gramsci di atas terbukalah jawaban mengapa Marxisme tetap tidak dapat membendung masuknya kembali ideologi ekonomi kapitalis dalam era globalisasi. Globalisasi ternyata membawa efek buruk pada negara kecil dan lemah yang tidak bisa mengendalikan pola globalisasi dunia karena keterbatasannya di bidang ekonomi dan teknologi. Hal ini akan membuat negara yang memiliki kekuatan kecil (dalam hal ini sering dikatakan sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga) akan hidup di bawah bayang-bayang negara maju. Kondisi ini sama seperti kondisi dimana negara dunia ketiga identik dengan kaum proletar sedangkan negara dunia pertama identik dengan negara maju yang umumnya adalah negara eksportir/ negara produsen. Realisasinya negara dunia ketiga hanya berfungsi sebagai pasar negara maju dimana negara dunia ketiga ’terpaksa’ untuk mengimpor komoditas negara maju. Karya Gramsci banyak dipengaruhi berbagai bentuk ekonomisme, yang melibatkan suatu hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan historis yang mirip dengan hukum-hukum alam, mirip dengan kepercayaan dalam suatu teleologi seperti yang terdapat pada paham agama. Dalil dasar mengenai materialisme historis menyebutkan bahwa setiap fluktuasi politik dan ideologi dapat digambarkan dan diuraikan sebagai suatu ungkapan struktur, dan harus diuji dan dibuktiakan berdasarkan pandangan marx. Realitas terstruktur adalah teori yang cukup mengejutkan dari Louis Althusser, sekaligus kritik atas Marx yang menurutnya terlalu terpukau dengan klausul ekomoni sebagai faktor mekanisme terjadinya kekuasaan. Louis Althusser cukup berhasil menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk ideologi (ideologi di sini dalam arti negatif) disosialisasikan kepada masyarakat luas. Tapi, ada beberapa hal krusial yang membuat bagaimana mekanisme ideologi bisa tersebar luas dengan sangat efektif, yaitu teori hegemoni. Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi ngetrend setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah: Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral. Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa . Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni. John Storey menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada proses sebagai berikut: …sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada. Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa merasa rela saat ada orang lain membeli tanah sawah (tanah resapan), yang akan dibangun mall atau perumahan elit. Dan kita kayakngerasa lumrah ngomong gini: “Ya wajarlah dia punya duit” Beberapa Catatan : - Apakah hanya bidang ekonomi yang menentukan ? Bukankah kepentingan politik dan cita-cita juga mempunyai dampak terhadap bidang ekonomi ? Berdasarkan apa Marx menyatakan bahwa, secara primer, kepentingan ekonomis menentukan kepentingan politis dan ideologis bukan sebaliknya ? Marx tidak menjawab pertanyaan itu, masalahnya bukan bahwa ia menegaskan pengaruh kekuasaan ekonomis atas kekuasaan politis serta cara berpikir masyarakat yang bersangkutan, melainkan bahwa bidang kenegaraan juga mempunyai dampak pada bidang ekonomi dan ideologis dan bahwa cara berpikir, beragama, apa yang dinilainya baik dan buruk, juga mempengaruhi bidang politik dan bahkan cara manusia berekonomi. Analisis Marx menjadi miring karena ia tanpa pendasaran apa pun mengesampingkan kemungkinan dampak timbal balik antara bidang-bidang itu, Marx sebenarnya mengakui bahwa bidang politis dan ideologis mempunyai dampak terhadap basis ekonomis, tetapi pengaruh itu hanya sekunder, bukan hanya ekonomi yang mempengaruhi politik dan kepercayaan manusia, tetapi politik dan kepercayaan manusia juga mempengaruhi bidang ekonomi. - Anggapan Marx bahwa bidang politik tidak perlu diberi banyak perhatian karena perkembangan-perkembangan yang menentukan terjadi dalam bidang ekonomi sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, bahkan oleh orang Marxis sekalipun. Hampir di semua masyarakat pusat politik memainkan peranan penting. - Pandangan Marx tentang revolusi sosialis dan komunisme menimbulkan beberapa pertanyaan, yang pertama, apakah kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme memang niscaya akan membawa ke revolusi sosialis ? Yang tidak dipertimbangkan Marx adalah kemungkinan bahwa kaum kapitalis, untuk menjaga ketentraman dalam hubungan kerja dan untuk meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja buruh-buruh, justru menaikkan upah dan memberikan lebih banyak fasilitas. Argumen bahwa kenaikan upah tidak mungkin karena ketatnya saingan tidak mengijinkannya melupakan bahwa produktivitas buruh dan ketenangan di tempat kerja, sama seperti persaingan, merupakan factor yang berpengaruh atas biaya produk, apabila menaikan upah dan memanusiakan kondisi-kondisi kerja meningkatkan motivasi kerja buruh, dua kebijakan itu justru akan menghemat banyak biaya karena produktivitas kerja buruh akan naik, kenyataan menunjukkan bahwa di semua Negara kapitalis upah buruh dan fasilitas lain terus meningkat, dan memang tak satu Negara kapitalis pun yang mengalami revolusi buruh. - Masalah penghapusan pembagian kerja, yang perlu kalau hak milik pribadi hendak dihapus dalam sosialisme, menyisahkan pertanyaan siapa yang mau membagi pekerjaan yang tidak enak, yang tidak pernah akan dilakukan secara sukarela tidak dijawab oleh Marx. - Konsentrasi dan akumulasi modal serta krisis-krisis kelebihan produksi memang terjadi, tetapi tidak mencapai titik kritis. Ramalan lain yang tidak terpenuhi adalah konsentrasi pada hanya dua kelas sosial saja, kelas kapitalis dan kelas buruh. Di Negara-negara industri modern terdapat kelas menengah yang kuat dan majemuk yang merupakan tulang belakang ekonomi Negara-negara tersebut. Bagian Kedua a. Post-Marxisme Howarth menjelaskan bahwa terdapat empat cara dalam mendefinisikan Post-Marxisme. Pertama, mengacu kepada para pemikir yang terpengaruh oleh tulisan Marx, walaupun kategorisasi ini sangat luas dan memiliki sedikit nilai analitis. Kedua, mengacu kepada tulisan Marxis setelah Marx, walaupun konseptualisasi ini, sekali lagi, tidak berakti dalam mengklasifikasi pemikiran. Ketiga, mengarah kepada penulis yang secara eksplisit mengidentifikasikan diri mereka sebagai post-Marxist. Dan keempat, mengacu kepada representasi ideal untuk memperjuangkan Marxisme, meminjam istilah Derrida ‘a post-Marxism to come’ (3). Howarth menggunakan kombinasi definisi ketiga dan keempat untuk karakter post-Marxisme dalam tulisannya ini khususnya pada pengaruh tulisan dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe karena klaim mereka pada posisi post-Marxist dan penjelasan rasional mereka pada pilihan ini. Materialisme Radikal: Prioritas dalam Politik Substansi dari pendekatan Laclau dan Mouffe berpusat pada dua kontradiksi utama dalam teori sosial Marxis. Mouffe menyarankan Marxisme untuk mengkontradiksikan apa yang mereka namakan logika kebutuhan (logic of necessity) dan logika kemungkinan (logic of contingency). Bahwa proposisi Marxist tidak dapat dihindaru oleh kontradiksi antara kekuatan dan relasi dari produksi dan sistem ekonomi seperti kapitalisme yang memiliki hasil yang tidak dapat dihindari dan dapat ditemukan dengan objektif. Walau begitu meskipun dua logika terdapat di dalam teori Marxist mereka tidak memiliki status yang sama. Laclau dan Mouffe berargumen bahwa tradisi Marxist telah secara sistematis mengistimewakan pendahulunya terhadap mereka yang muncul kemudian (the former over the latter). Mereka meredefinisikan konsep antagonisme dan memberikan prioritas pada teori relasi sosial sebagaimana menetang ide Marxis akan kontradiksi ekonomi dan sumber dari antagonisme sosial. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dan tidak boleh ada satu agens tunggal dari perubahan sosial –kaum proletar– dengan tujuan menyingkirkan kapitalisme. Alih-alih mereka memungkinkan ide menggandakan posisi dan identitas, bahwa tidak ada yang dapat membuat klaim superior atas alam. Mengenai keistimewaan gerakan sosial, Laclau dan Mouffe memperkenalkan ide demokrasi radikal. Dalam proyek ini, perjuangan melawan relasi kapitalis dalam produksi oleh kelas pekerja hanyalah satu aspek dalam perjuangan yang lebih luas. Perjuangan sosialis bukanlah fondasi dari politik demokrasi radikal, mereka hanyalah satu aspek penting dalam perjuangan melawan dominasi yang tidak demokratis dalam area produksi. Demokrasi radikal ala Laclau dan Mouffe terdiri dari tuntutan atas kebebasan dan kesetaraan dalam area yang lebih luas dalam masyarakat. Dalam area politik, misalnya, terwujud dalam hak warga negara yang sama dan dalam area relasi sosial ekonomi terwujud lewat kondisi pekerjaan yang lebih baik, upah yang lebih tinggi, hak membentuk serikat pekerja dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan kolektif. Hal ini menurut Laclau dan Mouffe dapat menyatukan berbagai grup dalam masyarakat terlepas dari apapun perbedaannya mereka masih memiliki isu yang sama yaitu menuntut demokrasi dan menentang rezim anti-demokratik. Evaluasi Post Marxisme Howarth menjelaskan pada akhir babnya bahwa kunci dari bentuk Marxis adalah formasi sosial secara sejarah lewat kombinasi ekonomi dan aspek lainnya, masing-masing dari mereka memiliki makna dan logika yang relevan terhadap poin penting dalam sejarah. Kritik terhadap posisi Laclau dan Mouffe adalah hilangnya spesifikasi sejarah ini. Walaupun mereka mengidentifikasi beberapa elemen didalam diskursu seperti faktor yang membentuk diskursus akan tetapi mereka tidak menspesifikasikan elemen apakah sebenarnya mereka. Terlepas dari pendekatan prularis Laclau dan Mouffe, Marxist seperti Ralph Milliband dan Nicos Poulantzas mengkritisi mereka atas kegagalannya melihat beberapa kepentingan mendominasi proses pembentukan kebijakan. Pada akhirnya Howarth menekankan akan kemungkinan berkembangnya post-Marxisme, mengingat belum selesainya alternatif radikal dari teori Marxis Laclau dan Mouffe. Spesialisasi Howard terhadap pemikiran Laclau dan Mouffe membuatnya tidak menyebutkan pemikir post-Marxist lainnya seperti Louis Althusser degan teori ideologinya atau Faucault dengan pendapat ideology sebagai diskursusnya (4) Penulis pribadi mendukung teori demokrasi radikal dan penggandaan posisi dan identitas walaupun para Marxist kemudian menyerang cita-cita ini dengan klaim bahwa post-Marxist gagal mengidentifikasi krisis kapitalisme (stagnasi dan kepanikan finansial) dan kontradiksi sosisal (ketidak setaraan dan polarisasi sosial) dalam level nasional dan internasional yang berimbas pada fokus spesifik lokal mereka (5) Dalam hal ini Laclau dan Mouffe menjawab: In our book we made reference to something that has been shown by numerous recent studies: namely, that the transition from absolute to relative surplus value, far from being the simple outcome of the internal logic of capital accumulation, is, to a large extent, the result of the efficacy of working-class struggles. (6) b. Konflik ideologi Ideologi sebagai keyakinan yang diperjuangkan, penganutnya rela berkorban demi perjuangan ideologinya. Oleh sebab itu ideologi tidak pernah mati sepanjang sejarah perkembangan masyarakat. Di dunia dewasa ini hanya ada dua idologi yaitu kapitalisme dan sosialisme. Dua ideologi itu konflik antagonis sepanjang masa. Dengan konflik itu melahirkan kemajuan ilmu sosial yang makin berkembang maju dan melahirkan berbagai paradigma baru. Kapitalisme Kapitalisme adalah suatu ideologi yang mengagungkan kapital milik perorangan atau milik sekelompok kecil masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Kepemilikan kapital perorangan atau kepemilikan kapital oleh sekelompok kecil masyarakat adalah dewa di atas segala dewa, artinya semua yang ada di dunia ini harus dijadikan kapital perorangan atau kelompok kecil orang untuk memperoleh keuntungan melalui sistem kerja upahan, di mana kaum pekerja (buruh) sebagai produsen diperas, ditindas, dan dihisap oleh kaum kapitalis. Bapak ideologi kapitalisme adalah Adam Smith dengan teorinya The Wealth of Nations yaitu kemakmuran bangsa-bansa akan tercapai melalui ekonomi persaingan bebas, artinya ekonomi yang bebas dari campur tangan negara. Kemudian Ideologi kapitalisme diperbaharui dan dikembangkan oleh Keynes dengan teorinya Campur Tangan Negara dalam Ekonomi khususnya dalam menciptakan kesempatan kerja, menetapkan tingkat suku bunga, tabungan, dan investasi, W.W. Rostow dengan teorinya The Five Stage Scheme, Harrod-Domar dengan teorinya Tabungan dan Investasi, Mc Clelland dengan teorinya The Need for Achievement, Reagan dan Tacher dengan teorinya Neo-Liberalisme atau Globalisasi Pasar Bebas atau teori Kedalualatan Pasar Bebas. Pelaksanaan teori-teori tersebut di atas didukung oleh IMF (international Monetary Fund), World Bank, dan para konglomerat internasional. Sosialisme Sosialisme ialah suatu ideologi yang mengagungkan kapital milik bersama seluruh masyarakat atau milik negara sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Kepemilikan bersama kapital atau kepemilikan capital oleh negara adalah dewa di atas segala dewa, artinya semua yang ada di dunia ini harus dijadikan capital bersama seluruh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui sistem kerja sama, hasilnya untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama, dan distribusi hasil kerja berdasar prestasi kerja yang telah diberikan. Ideologi sosialisme hakikatnya adalah menelanjangi keserakahan kapitalisme. Bapak ideologi sosialisme adalah Karl Marx dengan teorinya Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis, dan Das Kapital. Kemudian ideologi sosialisme dikembangkan oleh Althusser dengan teorinya Strukturalisme, Antonio Gramsci dengan teorinya Hegemoni, Samir Amin dan Adre Gunder Frank dengan teorinya Ketergantungan, Max Hokreimer, Hebert Marcuse, Theodor W. Adorno dengan teori Kritisnya yang ingin membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan penghisapan, tetapi anti dogmatisme yang artinya Marxisme tidak boleh dijadikan dogma (keyakinan membuta). Post Modernisme dan Post Marxisme Kedua ideologi ini lahir karena kontradiksi antara kapitalisme dan sosialisme yang makin menajam. Mereka mencari jalan keluar, pemikir kapitalis mencari jalan keluar berupa Post Modernisme sedangkan pemikir sosialis mencari jalan keluar berupa Post Marxisme. Kedua ideologi ini hakikatnya adalah revisionisme, mengaburkan paham kapitalisme dan sosialisme. Post Modernisme Post Modernisme ialah ideologi tentang hak untuk berbeda (The Right of Different) yang menolak penyelamatan manusia dari penghisapan manusia atas manusia yang dikumandangkan oleh ideologi sosialisme, dan menolak hegemoni dan dominasi kapital terhadap kehidupan manusia. Hakikatnya post modernisme menolak ideologi kanan (kapitalisme) dan ideologi kiri (sosialisme). Menurut George Ritzer (jurnal The American Sosilogist No 10, 1975 yang dikutip oleh Widodo Dwi Putro, Kompas, 23 September 2002), konfik kanan-kiri yang menang adalah kanan (kapitalisme) karena kapitalisme mempunyai kekuatan kapital dan kekuasaan politik. Kemenangan kapitalisme atas sosialisme dewasa ini (akhir abad 20) dikukuhkan oleh tesis Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man, yang menjelaskan bahwa evolusi terakhir ideologi manusia adalah demokrasi liberal karena diterima diseluruh dunia dan menerima kapitalisme sebagai cara produksi yang paling efektif, produktif, dan efisien. Selanjutnya Fukuyama menjelaskan bahwa dewasa ini kekuasaan tertinggi manusia adalah Konsumerisme karena ideologi inilah yang paling otoriter pada kehidupan manusia, dan ideologi ini disebut The Late Capitalisme (kapitalisme akhir). Kesadaran manusia tidak lagi dipersatukan oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi oleh konsumerisme dan daya tarik gaya hidup; manusia tidak peduli pada ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi tertarik pada gaya hidup. Post Marxisme Post Marxisme adalah ideologi kaum intelektual bekas kaum Marxist yang ingin memperbaiki nasib rakyat jelata melalui program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan bourjuis. Post-Marxisme berlawanan dengan Marxisme yaitu ideologi kaum buruh yang ingin memperbaiki nasibnya melalui suatu revolusi sosial.Dua ideologi itu memiliki sejarah yang berbeda. Ideologi Marxisme, lahir dari kesadaran kaum buruh untuk mengubah nasibnya dari penindasan dan penghisapan kaum kapitalis melalui revolusi sosial. Marxisme merupakan sejata idiil kaum buruh, dan buruh menjadi senjata materiil Marxisme. Di atas kemenangan revolusi sosial itu didirikan pemerintahan Demokrasi Rakyat kemudian berkembang menjadi Diktatur Proletariat yang mempunyai tugas utama memperbaiki nasib kaum buruh dan kaum miskin lainnya. Sedangkan ideologi Post-Marxisme, lahir dari bekas kaum Marxist yang mengkritik beberapa point teori Marx antara lain teori revolusi dan teori Negara Diktatur Proletariat. Di samping itu post marxisme lahir dari kekosongan posisi sosial pada saat perjuangan kelas pekerja (kaum kiri) mengalami kemunduran, dan lahir dari pengaruh kaum Neo-Liberalisme dengan tesis globalisme, di mana kesejahteraan sosial harus diatur oleh “Kedaulatan Pasar Bebas”. Dalam tesis globalisme, kapital, ilmu, teknologi, dan tenaga ahli adalah bebas mengarungi samudera dan bebas menjelajah ke pelosok penjuru dunia untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Analisis Konflik ideologi antara kapitalisme dan sosialisme merupakan keharusan sejarah. Karena kapitalisme ingin mempertahankan pemilikan perorangan atas alat-alat produksi dan ingin mempertahankan penghisapan manusia atas manusia melalui sistem kerja upahan di mana besarnya upah ditentukan oleh pemilik kapital. Sedangkan sosialisme ingin membebaskan manusia dari belenggu rantai penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa melalui revolusi di mana alat-alat produksi harus menjadi milik bersama seluruh masyarakat, digunakan bersama, dan hasilnya untuk memenuhi kepentingan hidup bersama di bawah pengaturan negara. Dalam kapitalisme, negara adalah pelayan kaum kapitalis. Negara harus membuat undang-undang untuk melindungi kepemilikikan kapital kaum kapitalis. Di samping itu negara harus melaksanakan kebijakan politik yang melindungi dan menguntungkan kaum kapitalis. Sedangkan sosialisme, negara adalah pelayan rakyat. Negara harus membuat undang-undang untuk melindungi kepemilikan bersama seluruh masyarakat atas alat-alat produksi. Di samping itu negara harus melaksanakan kebijakan politik yang melindungi dan menguntungkan kaum pekerja (buruh). Tentang lahirnya paham baru post modernisme dan post marxisme yang dewasa ini sedang diminati oleh banyak pemikir, itu hakikatnya adalah revisionisme yang akan mengaburkan kesrakahan kapitalisme dan tesis revolusi sosial menuju sosialisme. Post modernisme dan post marxisme hanya “kembang pemikiran” yang sedang mekar tanpa didasari oleh kekuatan basis (sistem ekonomi). Oleh sebab itu kembang pemikiran tersebut akan segera layu dan berguguran. Seperti tulisan Fukuyama, yang menjelaskan bahwa kapitalisme akhir adalah hegemoninya dan dominasinya konsumerisme, ia hanya melihat permukaan gejala social saja, ia tidak melihat hakikat dari gejala social tersebut. Demikian juga tentang post Marxisme, paradigma itu hanya sebagai “hiburan kaum intelektual kiri” saja yang tidak sabar menunggu datangnya revolusi sosial. Oleh sebab itu dengan lahirnya post marxisme, bukan berarti Marxisme sudah mati. Post Marxisme itu hanya aliran segelintir pemikir kiri yang menyimpang dari Marxisme dan dapat dipastikan tidak akan didengar oleh kaum pekerja (buruh), apalagi dijadikan senjata morilnya. Kaum pekerja (buruh) di mana pun selama masih ada kapitalisme tetap akan menggunakan Marxisme sebagai senjata morilnya (senjata perjuangannya). Post modernisme hakikatnya adalah paradigma “pemikir bingung”, karena landasan berpikirnya adalah pikiran itu sendiri, bukan kondisi riil kehidupan sosial. Oleh sebab itu paradigma post modernisme dapat dipastikan cenderung ke idealisme (pikiran yang melahirkan kondisi obyektif, bukan kondisi obyektif yang melahirkan pikiran). Baik post marxisme maupun post modernisme hanya sebagai buah pikiran berdasar pikiran, bukan buah pikiran berdasar kondisi obyektif kehidupan sosial, akhirnya keduanya akan ditelan dan hilang oleh sejarah perkembangan masyarakat, karena hakikatnya sejarah adalah sejarah konflik kepentingan kehidupan riil (kehidupan ekonomi) antara golongan penguasa dengan golongan yang dikuasai, kemudian berkembang menjadi konflik ideologi. Muhammad Afandi Ojudista