Jumat, 26 Maret 2010

Krisis Air di Bukit Lawang...Ironis.!!

Air adalah sumber kehidupan. Satu definisi yang ironi terdengar saat ini. Di tengah giatnya pemerintah mendongkrak sumber dana dari sektor tambang dan perkebunan, pada saat yang sama sumber daya air kian menyusut. Untuk itu, persoalan air, harus dilihat sebagai fokus kajian persoalan lingkungan.
Krisis air adalah dimensi kerusakan ekologis bumi yang paling menyebar, paling sulit dan paling tidak terlihat. Persoalan ini bukan hanya terjadi akibat pertumbuhan populasi, tapi diperparah oleh penggunaan air yang berlebihan. Dalam hal tersebut, manusia telah merusak bumi dan menghancurkan kapasitasnya untuk menerima, menyerap dan menampung air. Pembabatan hutan dan pertambangan telah menghancurkan kemampuan serap yang dimiliki tanah untuk menyimpan air. Hal lain yang tak bisa dipungkiri, meningkatnya penggunaan bahan bakar minyak telah menyebabkan polusi udara dan perubahan iklim yang menjadi penyebab utamanya banjir dan kekeringan.
Namun dalam hal ini yang terjadi pada kawasan perumahan masyarakat bukit lawang di komplek atas ataupun disekitarnya dalam beberapa bulan ini telah mengalami krisis air yang sunguh ironis hingga masyarakat setempat harus mengantri siang hingga malam untuk mendapatkan air demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang mendasar itu adalah air minum dan masak sehari-hari dan kalau untuk urusan mencuci pakaian atu mandi,masyarakat tersebut lebih memilih di kawasan sungai pemandian pariwisata bukit lawang yang artinya itu juga lebih merusak keberlangsungan ekosistem air dengan penggunaan bahan-bahan zat kimia seperti detergent,sabun,shampo, dsb.
"Kalau di gurun pasir krisis air, maka sudah wajar, tapi aneh jika Bukit Lawang yang merupakan daerah pegunungan leuser tidak memiliki sediaan air yang cukup,"
Hak masyarakat sekitar hutan yang selama ini mengambil air dari sumber air di wilayahnya kian terancam setelah apa yang menimpa kita dalam bencana banjir bandang bahorok pada tahun 2003 silam hingga kini tidak ada perubahan yang signifikan.
Fakta hari ini menunjukkan, pemerintah daerah kerap mendongkrak laju perkebunan (PTPN) untuk lebih produktif demi kepentingan korporasi yang notabenenya di kawasan bukit lawang (komplek) berada tepat dibawah PTPN II yang baru berusia sekitar 3 tahun perkebunan sawitnya dan pusat sumber air berada tepat ditengah-tengah perkebunan sawit.ditambah lagi omong kosong NGO yang sok berbicara tentang ekologi atau pecinta lingkungan namun tanpa tindakan apapun melihat kegelisahan masyarakat sekitar,malah sibuk dengan proyek masing-masing dengan ketamakan ingin menjadikan daerah tersebut sebagai lahan bisnis ecotourism semata.
Sekilas tentang Sawitisasi:
Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).=== Syarat hidup ===Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memperngaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.
Dalam hal ini kita memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dimana hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah.namun negara akan tetap mempertahankan kelanggengan korporasi ketimbang kebutuhan masyarakatnya maka sebelum terjadi yang lebih fatal seperti yg terjadi di Aceh tengah(Takengon) atu di pulau jawa yg telah mengalami krisis air bersih.maka Dalam hal ini, semakin menunjukkan adanya legitimasi Pelanggaran HAM atas rakyat oleh negara.
Akhirnya, krisis ekologi yang kian parah mengharuskan kita untuk mempertimbangkan nilai dan fungsi alam melalui audit kebijakan ekologis yang layak. Artinya, melakukan audit atas kelayakan kebijakan yang pro ekologis. Audit kebijakan ekologis ini harus menghormati fungsi lingkungan dan menghormati masyarakat. Untuk itu, gerakan lingkungan ini menjadi relevan mengantarkan perubahan kebijakan lingkungan di sektor air yang lebih baik, ditengah ancaman bagi peradaban manusia dan kelestarian lingkungan saat ini. Semoga!


by:Syndikatari minori(11 Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar