Jumat, 26 Maret 2010

Analisa Kritis Gerakan Tani Indonesia

KAUM TANI DIBAWAH ANCAMAN KAPITALISME

Sekapur Sirih
Saat ini petani Indonesia sering menemukan kenyataan bahwa beras yang mereka produksi harganya jauh lebih mahal daripada beras yang diimpor (didatangkan dari luar Indonesia). Demikian pula halnya dengan hasil-hasil (produk) pertanian yang lain. Kenapa hal tersebut terjadi ? sejak kapan terjadinya dan apa akibatnya bagi kehidupan petani dan masyarakat Indonesia pada umumnya ?

Untuk memahami masalah-masalah ini, kita perlu mengenali apa yang disebut kapitalisme dan Imperialisme. Apa artinya kapitalisme ? Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh (termasuk buruh tani dan buruh perkebunan) dari alat-alat produksi. Dengan cara produksi semacam inilah, maka keuntungan (nilai lebih) tidak jatuh ke tangan buruh, melainkan jatuh ke tangan majikan (pemilik modal/capital). Kapitalisme oleh karenanya pula, menyebabkan penumpukan capital, konsentrasi capital, sentralisasi capital, dan barisan penganggur.

Sedangkan imperialisme adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri, suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatu kejadian di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi suatu negeri atau suatu bangsa. Selama ada perekonomian bangsa, selama ada ekonomi negeri, selama itu dunia melihat imperialisme. Dia kita dapatkan dalam burung Garuda Rum (Kerajaan Romawi) terbang ke mana-mana menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di luar lautan Tengah. Dia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menduduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggris, dia kita dapatkan di dalam nafsu Kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan Negeri Semenanjung Malaka, menaklukkan Kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Dia kita dapatkan dalam nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua Kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera sampai Maluku.

Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan bangsa lain, tetapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi Negara atau bangsa lain. Dia tidak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tidak usah berupa perluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata. Dia bisa juga dijalankan dengan putar lidah atau cara halus-halusan saja, atau diplomasi perdagangan dan dalam perkembangan kapitalisme global, dilakukan dengan tarif barang dan jasa.

Perjanjian Tentang Pertanian dan Akibatnya Bagi Petani Kecil
Perjanjian Tentang Pertanian (AoA) adalah salah satu hasil Putaran Urugay yang mengatur perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu lajunya konsentrasi pertanian ke agribisnis dan melemahkan kemampuan Negara-negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengaan cara bertani subsisten (bahan pokok penyembung hidup). Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, Perjanjian Tentang Pertanian (AoA) sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan petani Indonesia.

Menurut dasar pikiran ketetapan tersebut, daripada mencukupi sendiri kebutuhan pangan, lebih baik Negara-negara itu membeli makanan dalam pasar Internasional dengan uang yang diperoleh dari hasil ekspor. Namun, banyak Negara-negara kurang berkembang menghadapi rendahnya harga produk mereka atas sejumlah ekspor mereka yang terbatas. Selama empat tahun pertamaWTO, harga bahan-bahan pertanian jatuh, sedangkan harga makanan tetap tinggi. Sistem ini dapat merugikan petani maupun konsumen dan sekaligus membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan transnasional mendominasi pasar, terutama di Negara-negara miskin.

Dengan menanda tangani Perjanjian Pertanian (AoA) Negara-negara dunia ketiga menyadari bahwa mereka telah setuju untuk membuka pasar-pasar mereka sementara memungkinkan para Adikuasa pertanian menguatkan sistem produksi pertanian bersubsidi mereka yang menyebabkan anjloknya harga padda pasar-pasar mereka. Pada gilirannya, proses tersebut, menghancurkan pertanian berbasis petani kecil.

Aturan-aturan WTO yang terbaru mengenai pertanian mendesak Negara-negara miskin untuk meliberalisasi pasar-pasar mereka, sementara pada sisi lain memungkinkan Negara-negara maju/industri untuk mensubsidi dan membanting harga produk-produk ekspor pertanian mereka. Ekspor yang dilakukan dengan membanting harga, terutama oleh Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat menghancurkan kehidupan di Negara-negara miskin, dan harus secepatnya dihapuskan. Di Afrika Barat, sebagai contoh banjir konsentrat tomat murah Eropa telah menghancurkan produksi dan pengolahan tomat local, sementara produk-produk susu Uni Eropa yang bersubsidi tinggi telah menyebabkan hilangnya pendapatan para produsen susu di Brazil dan Jamaika. Sedangkan di Indonesia, para petani kecil penghasil beras mengeluhkan banjirnya beras impor, yang harganya selalu lebih murah daripada beras yang mereka produksi.

Pemerintah-pemerintah Negara kaya terutama Amerika Serikat seringkali menyatakan kesediannya terhadap pengembangan lapangan bermain yang sama dalam pertanian. Namun, dalam kenyataannya, secara bersama-sama Negara-negara OECD (Negara-negara industri maju) membelanjakan $350 Milyar untuk mensubsidi para petani mereka. Di Amerika Serikat, ini berarti subsidi senilai $20.000 untuk tiap orang petani. Globalisasi pasar-pasar pertanian berarti bahwa para petani ini bersaing dengan para petani kecil di Negara-negara miskin, yang banyak diantaranya hidup dengan kurang dari $ 1 per hari.

Pada masa krisis, banyak Negara berkembang/miskin telah meliberalisasikan impor pangan mereka, atas tekanan dari IMF dan Bank Dunia, bahkan memberlakukan tarif nol persen untuk impor bahan pangan utamanya (sembako). Pada masa normal nantinya, sulit untuk memberlakukan tarif lagi.

Akibat dua keuntungan yang diperoleh dari perjanjian tantang pertanian yakni produk pertanian yang bersubsidi dan tarif bea masuk yang sangat rendah adalah sangat mengerikan bagi para petani di Negara-negara miskin dan berkembang. Petani kecil tidak akan mampu bersaing dalam pasar global yang dikendalikan oleh perusahaan transnasional sementara tekanan untuk menyediakan produk tanaman ekspor akan menggusur jutaan petani dari lahan mereka, jadi, sekali lagi, patut dicamkan bahwa inilah akibat utama dari Perjanjian tentang Pertanian/WTO bagi petani di Negara-negara berkembang/miskin : menggusur jutaan petani kecil di lahan mereka.


Kapitalisme Global di Lapangan Agraria : Pasar Tanah dan Proyek Administrasi Pertanahan
Setelah melihat kepentingan yang dibawakan oleh WTO lewat perjanjian tentang Pertanian (AoA), maka kita perlu pula mengetahui kepentingan kapitalisme global terhadap alat produksi yang paling penting bagi petani dan sector pertanian yaitu tanah. Untuk hal ini, kapitalisme global dan para pendukungnya (termasuk kalangan intelektual) mengembangkan konsep yang dikenal sebagai pasar tanah (land market), yang secara gencar dipromosikan oleh Bank dunia pada tahun-tahun 2000-an awal dis eluruh dunia. Di Indonesia, proyek Bank dunia ini dikenal sebagai Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) atau Land Administration Project (LAP).

Bank dunia memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam bantuan kebijakan pertanhan Negara-negaara berkembang. Dua desain utama yang pernah dianut oleh Bank Dunia adalah Land reform dan Land Market, walalupun motif dari bank Dunia adalah sama-sama melanggengkan pengaruh Amerika. Namun terdapat perbedaan-perbedaan penting antara keduanya, yang terletak pada dataran agenda ekonomi-politik, sector yang menjadi tumpuan dan periode waktu penerapan kebijakan tersebut.

Pada dekade sekarang, Bank Dunia tidak lagi menggunakan desain utama Land Reform, karena argumentasi ekonomi politiknya menurut Bank Dunia sudah tidak lagi tepat. Dalam upaya menerapkan pasar tanah tersebut, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan deregulasi semua perundang-undangan yang dapat membatasi ruang gerak investasi, termasuk di dalamnya deregulasi pertanahan. Dari tinjauan ini, proses pengadaan tanah untuk investasi modal besar selama ini mengalami sejumlah hambatan yang mengganggu. Hambatan tersebut didasarkan atas tipe ideal prinsip pasar bebas. Arah baru strategi, kebijakan program, dan proyek pertanahan tersebut adalah membentuk pasar tanah yang efisien.

Salah satu proyek deregulasi pertanahan dalam kerangka land market (pasar tanah) yang disarankan oleh Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia adalah apa yang disebut sebagai Proyek administrasi Pertanahan (land Administration Project). Ada suatu titik masuk untuk melihat asal-usul PAP (Proyek Administrasi pertanahan) sebagai bagian dari strategi global Bank Dunia, yakni uraian Bab II dalam dokumen Bank Dunia berjudul Staff Appraisal Report-Land Administration Project (SAR) dengan judul Bank Experience, Strategy and Rationale for Bank Involvement. Pada bagian awal Bab II SAR tersebut, diuraikan pengalaman keberhasilan proyek sejenis di Thailand, yang juga bekerja sama dengan AusAid. Namun, tidak diuraikan pengalaman kegagalan serius dari proyek di Papua Nugini. Kecenderungan untuk mempopulerkan pengalaman yang berhasil (menurut ukuran Bank Dunia), dan menyembunyikan pengalaman kegagalan tentunya menimbulkan pertanyaan. Satu pertanyaan penting adalah apa latar dari perluasan proyek-proyek sejenis ?
Saat ini paling tidak ada beberapa Negara, di mana Bank dunia bersama-sama dengan AusAid (badan kerja sama pembangunan Australia) membiayai dan memberi hutang untuk proyek sejenis di berbagai Negara yang berkembang, diantaranya Thailand, Papua Nugini, Laos, dan El savador. Bank Dunia sendiri telah berpengalaman lebih dari 35 tahun menghutangi proyek semacam ini, untuk Negara-negara di dua wilayah : Central America dan South-and Southeast asia.

Desakan Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia untuk melaksanakan deregulasi pertanahan berada dalam kerangka neo-liberal. Asal-usul deregulasi ini dapat ditelusuri dari Program Penyesuaian Structural (SAP) dari Bank Dunia terhadap ekonomi politik Negara-negara penghutang, termasuk Indonesia. Karena itu, deregulasi ini hanya dapat dimengerti dari siasat bank Dunia terhadap Negara-negara penghutang termasuk Indonesia, latar belakangnya sangat jelas, yakni agar Negara-negara penghutang mampu melunasi hutang-hutangnya atau bank Dunia harus menyelamatkan kekayaan dirinya dan mitra-mitra Negara pemodalnya.

Ditetapkan bahwa tujuan Proyek Administrasi Pertanahan(PAP) adalah proyek yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia yang bertujuan utama : meningkatkan pasar tanah (land market) yang wajar dan efisien dan mengentaskan konflik masyarakat atas tanah, melalui percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah sebagai fase permulaan dari program pendaftaran tanah jangka panjang pemerintah Indonesia (Bagian A), dan perbaikan sistem kelembagaan administrasi pertanahan yang diperlukan untuk menunjang program pendaftaran tanah tersebut (Bagian B). tujuan utama kedua proyek tersebut (Bagian C) adalah untuk menunjang upaya pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kebijaksanaan pengelolaan pertanahan. Tujuan-tujuan yang berkaitan percepatan pendaftaran tanah ini adalah untuk menunjang pengentasan kemiskinan melalui jaminan hak pemakaian tanah yang ditingkatkan dan kesempatan agunan kepada pemilik tanah, serta untuk menyediakan insentif bagi investasi dan tata guna tanah yang berkelanjutan.

Selintas, tujuan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) ini tampak akan menguntungkan rakyat Indonesia. Namun, dalam hal ini kita mesti membongkar secara sungguh-sungguh tujuan jangka panjang dari kepentingan Bank Dunia dalam mempromosikan pasar tanah ini. Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Bank Dunia ? Bank Dunia menginginkan peran pemerintah sebagai penyedia tanah dikurangi otoritasnya. Bank dunia juga hendak menghapus seoptimal mungkin para calo pertanahan. Tentunya hal ini bagus selama ia memang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Sayangnya tidak demikian, Bank Dunia lebih berpikir bagaimana membuat iklim investasi di Indonesia lebih nyaman bagi beroperasinya modal-modal besar, khususnya perusahaan-perusahaan multi/trans-nasional, dengan cara terciptanya mekanisme penyediaan tanah yang lebih efisien bagi kepentingan mereka.

Akibat Kapitalisme Global Bagi Petani
Hal pertama yang langsung jelas terlihat akibat dari globalisasi ini adalah penguasaan dan pengelolaan tanah yang timpang. Penguasaan tanah terkonsentrasi pada mereka (entah petani atau pengusaha mengaku petani) yang memiliki modal lebih banyak. Dengan sistem penguasaan seperti demikian otomatis pengelolaan tanah pun bergantung pada para pemilik modal yang sebagian besar memiliki kepentingan bersaing hasil produksi di pasar bebas.

Sejarah sosial telah membuktikan bahwa saling berhubungan di dalam pasar, walau bagaimanapun, akan dimenangkan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal lebih disbanding pihak lainnya. Sejarah sosial di dunia juga telah membuktikan bahwa kekuatan-kekuatan pemodal asing yang hendak mengintervensi pasar local atau hendak memperluas jaringan perdagannya telah merubah wajah peradaban umat manusia di dunia ini dari satu model penindasan feodal ke model penindasan lainnya yaitu yang tidak kalah dasyat, yaitu kolonialisme dan imperialisme. Kekuatan inilah yang telah mengubah Indonesia sejak masa feodalisme hinggah sekarang. Ribuan tahun hinggah saat ini, rakyat kita secara terpisah-pisah atau secara serentak masih terus mengalami pengalaman penindasan ini dalam bentuk yang beraneka ragam modelnya.

Bangsa ini sudah mengalami suatu bentuk penindasan kolonialisme dan imperialisme lama akibat intervensi kekuatan-kekuatan modal dan para pedagang asing lewat masa penjajahan yang sangat panjang itu. Jika kita lihat, periode sejarah penjajahan pada waktu itu adalah justru dimulai dengan kehendak mereka untuk masuk ke dalam pasar dan perdagangan internasional yang bebas.

Sistem kapitalisme global jelas menguntungkan Negara-negara industri maju dan korporasi-korporasi raksasa yang saat ini sudah sangat kuat. Oleh proses sejarah, Negara-negara dan korporasi ini berhasil melakukan industrialisasi pada awal abad ke-19. akibatnya, mereka menjadi kaya, di samping menguasai teknologi dan memonopoli pasar. Namun, Negara-negara industri maju dan korporasi raksasa ini harus mengakui bahwa mereka memiliki hutang sejarah yang besar terhadap Negara-negara miskin dan berkembang selama berabad-abad eksploitasi mereka.

Dengan mencermati perkembangan terakhir dari kapitalisme global, kita melihat bahwa perjanjian-perjanjian yang diatur dalam WTO telah menghasilkan seperti apa yang diinginkan oleh korporasi raksasa dan Negara-negara industri maju. Karena itu, dapat dikatakan bahwa korporasi raksasa dan Negara-negara industri maju akan lebih leluasa menjalankan praktek neo-imperialisme dan neo-kolonialismenya. Bukan saja barang-barang impor (yang sering kali relatif lebih baik dan lebih murah ketimbang produk lokal) telah membanjiri pasar domestik Negara-negara Dunia Ketiga, tapi juga para pengusahanya adalah pengusaha-pengusaha asing atau di bawah kekuatan modal asing. Para pengusaha lokal paling-paling cuma jadi agen, yang digaji atau mendapatkan komisi dari perusahaan-perusahaan transnasional raksasa ini.

Sayangnya, banyak orang di Dunia Ketiga sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi di dunia sekarang ini. Hanya sedikit orang yang pernah mendengar apa yang disebut sebagai Putaran Uruguay, GATT, IMF atau WTO. Lewat badan inilah neo-kolonialisme dan neo-imperialisme menyeruak masuk ke Negara-negara Dunia Ketiga. Penguasaannya dilakukan bukan dengan kekuatan militer, tapi melalui pasar bebas.

Konteks pertanahan, kita mengenal pasar tanah, yang dipromosikan Bank Dunia. Oleh karena itu, tanpa kita tahu dan tanpa bunyi, binatang yang bernama neo-imperialisme sedang merayap masuk ke kamar tidur kita, pada saat kita sendiri sedang tidur nyenyak, dibuai mimpi ketidakpedulian. Apakah belum saatnya sekarang kita bangun ?

Program Penyesuaian Struktural (SAP)
Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP) adalah upaya Bank dunia untuk menyelamatkan hutang yang telah diberikannya kepada Negara-negara Dunia Ketiga, Structural Adjustment Program (SAP) intinya adalah sebuah kebijakan yang diperkenalkan Bank Dunia untuk memaksa negara-negara yang mendapat bantuan hutang untuk lebih membuka pasar dalam negeri mereka , menekankan kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang-barang yang bias diekspor, mengurangi subsidi pemerintah terhadap sektor publik seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Di Afrika dan Amerika latin, program ini menciptakan kemiskinan di kalangan rakyat jelata.

Bank Dunia mendefinisikan penyesuaian struktural (structural adjustment) sebagai “reformasi kebijakan dan kelembagaan yang mencakup ekonomi mikro (seperti pajak dan tarif), ekonomi makro (kebijakan fiskal) dan intervensi kelembagaan, perubahan-perubahan ini didesain untuk memperbaiki alokasi sumber daya, meningkatkan efisiensi ekonomi, memperluas potensi pertumbuhan dan meningkatkan kelenturan terhadap goncangan-goncangan ekonomi”.

Di Afrika, beban hutang yang berat telah mengakibatkan dijalankannya sejumlah besar Program Penyesuaian Struktural. Paket-paket yang dirancang oleh Bank dunia dan IMF (International Monetary Fund) selama periode 1980-an ini, diterapkan oleh banyak Negara afrika Sub-Sahara sebagai persyaratan untuk keberlangsungan bantuan keuangan. Dasar pikiran SAP adalah bahwa sejumlah factor ekonomi harus dirubah dalam suatu Negara tertentu untuk menjamin kemampuan ekonomi yang lebih baik dengan maksud untuk membayar kembali hutang dan bunganya, mempunyai neraca pembayaran yang lebih baik, dan mencapai keadaan ekonomi yang lebih sehat secara umum.

Negara-negara yang menolak langkah-langkah yang disarankan oleh Bank Dunia dan IMF tidak akan bisa memperoleh bantuan ekonomi lagi. Dengan kata lain, cara bagaimana beban hutang yang berat dan problem-problem ekonomi lain ditangani bukan lagi merupakan persoalan prioritas nasional atau bahkan keputusan nasional. Melalui Program Penyesuaian Struktural, Bank dunia dan IMF mengambil alih tugas-tugas otoritas nasional dan mendikte kebijakan-kebijakan ekonomi yang menurut mereka akan memecahkan problem hutang khususnya, dan problem-problem ekonomi suatu Negara pada umumnya.

SAP umumnya ditujukan pada factor-faktor ekonomi suatu Negara, namun efek dari tindakan-tindakan yang diambil sangat mungkin bersifat politik, sosial, dan budaya. Sampai sekarang, IMF tidak mau melihat dampak-dampak ini. Ironisnya, mereka mengklaim ini akan mengintervensi persoalan-persoalan domestik suatu Negara.

Sementara paket penyesuaian structural menguntungkan bagi para kreditornya, bagaimana halnya dengan para Negara penghutangnya (debitor) ?. Ternyata Negara-negara penghutang tidak begitu berhasl dalam menyehatkan ekonominya maupun melepaskan diri dari problem hutangnya.

Biaya sosial dari penerapan kebijaka-kebijakan IMF dan Bank Dunia sangat tinggi, terutama bagi kaum miskin. Kaum miskin dalam konteks ini adalah para pemukim perkotaan menengah kebawah, petani-petani kecil dan tanpa tanah, masyarakat nelayan, kelompok masyarakat adat dan lain-lain. Anak-anak dalam komunitas semacam itu bahkan lebih rentan lagi.

Efek-efek deflasi (devaluasi dan inflasi) dari kebijakan-kebijakan ini telah meningkatkan pengangguran dan menurunkan upah riil. Sebagai contohnya, selama periode 1980-an, pendapatan rata-rata di kebanyakan Negara Amerika latin turun sekitar 10 persen, dan di Afrika Sub Sahara sekitar 20 persen. Bagi kaum miskin, hal ini tak terelakkan lagi meningkatkan malnutrisi ( kekurangan gizi).

Penyesuaian struktutal dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pasar bebas dilaksankan mula-mula pada awal 1980-an adalah factor utama yang memicu kenaikan cepat ketidakmerataan secara global. Satu studi UNCTAD yang mencakup 124 negara menunjukkan bahwa pembagian pendapatan dari 20 persen penduduk terkaya dunia meningkat dari 69 persen menjadi 83 persen antara tahun 1965 dan 1990. kebijakan-kebijakan penyesuaian merupakan faktor utama di balik konsentrasi pendapatan global secara cepat dalam tahun-tahun terakhir. Contoh yang paling ekstrim dapat dilihat dalam tahun 1998. dalam tahun tersebut, Bill Gates, pendiri utama perusahaan komputer Microsoft mempunyai kekayaan bersih $90 milyar; Warren Buffet, mempunyai $36 milyar; dan salah satu pendiri Microsoft, Paul Allen, punya kekayaan bersih $30 milyar. Bila kekayaan bersih ketiga orang ini digabungkan, akan melebihi pendapatan gabungan total dari 600 juta orang yang hidup di 48 negara-negara kurang berkembang, yang menjadi target program-program penyesuaian struktural.

Program penyesuaian struktural juga merupakan penyebab utama tidak adanya kemajuan dalam kampanye menghapus kemiskinan. Jumlah orang di seluruh dunia yang hidup dalam kemiskinan, yakni mereka yang hidup kurang dari satu dollar dalam sehari, meningkat dari 1,1 milyar orang dalam tahun 1985 menjadi 1,2 milyar dalam tahun 2000, dan menjadi 1,3 milyar dalam tahun 2008. Menurut studi terakhir Bank Dunia sendiri, jumlah absolut orang yang hidup dalam kemiskinan meningkat dalam decade 1990-an berada di Eropa Timur, Asia Selatan, Amerika Latin dan Karibia, dan Afrika sub sahara, yang semuanya merupakan kawasan-kawasan di mana program penyesuaian structural diberlakukan.

Demikianlah cara kerja sistem neo-liberal, dengan tiga porosnya: WTO, Bank Dunia, IMF. Ini adalah puncak dari apa yang dicita-citakan ketika pertama kali badan-badan ini ini dibentuk dalam pertemuan Bretton Woods pada tahun 1944. Ketiga badan inilah yang saat ini merupakan instrumen pokok dari kapitalisme global. Bila, kemarin, masyarakat Dunia Ketiga dipaksa dan ditekan untuk meniru dan mengikuti model pembangunanisme yang didesain dan diarahkan oleh Bank Dunia dan IMF, maka kini mereka dipaksa dan ditekan untuk menjadi hamba sahaya dan pengekor saja dari WTO. Dunia ketiga kembali menjadi budak neo-kolonialime-imperialis, secara lebih efektif dan sistematis.

Penaklukan Dan Penindasan Terhadap Kaum Tani
Di dalam sengketa-sengketa tanah yang terjadi ada banyak contoh penaklukan dan penindasan yang dilakukan oleh Negara dan aparat-aparatnya terhadap kaum tani. Pada hakekatnya hal tersebut bertujuan untuk mengalahkan atau meredam pergerakan tani. Pendeknya, segala penaklukan dan penindasan itu dilakukan oleh Negara dalam rangka memaksakan dijalankannya satu proyek atau program tertentu yang dinyatakan sebagai proyek atau program pembangunan. Dengan kata pembangunan ini, Negara seolah-olah memiliki hak untuk melakukan segala upaya penaklukkan dan penindasan.

Seluruh tindak-tanduk Negara dalam menaklukkan dan menindas rakyat ini selalu dinyatakan sebagai bagian dari upaya Negara untuk menegakkan stabilitas politik, sosial dan keamanan, agar proses pembangunan bisa berlangsung terus. Sementara upaya-upaya kaum tani untuk memepertahankan haknya akan segera dinyatakan sebagai upaya-upaya yang menghambat pembangunan, dan dijadikan alasan oleh Negara dan persekongkolannya untuk melakukan sejumlah upaya penaklukan dan penindasan, seperti yang terjadi pada kasus perampasan tanah Masyarakat persil IV di Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang yang berkonflik dengan PTPN II, dalam kasus ini PTPN II telah mengakui bahwa tanah yang disengketakan adalah milik masyarakat tetapi di sisi lain mengklaim bahwa tanaman yang diatas lahan sengketa adalah milik PTPN II, suatu hal yang tumpang tindih, dengan alasan tanaman adalah asset Negara maka masyarakat jika hendak mengusahai lahannya akan dituduh sebagai pihak yang mengganggu asset Negara, padahal jelas di lapangan bahwa ini hanya dijadikan bisnis haram oleh beberapa pejabat BUMN khususnya PTPN II dan beberapa oknum TNI/POLRI.

Dalam seluruh sengketa tanah yang pernah terjadi, Negara secara ktif mengrahkan aparat-aparatnya baik sipil maupun militer untuk menindas kaum tani. Sedangkan senjata yang digunakan dalam proses penaklukan dan penindasan ini sangat seragam, dari mulai organisasi sampai aksi individual, dari pentungan rotan hinggah bayonet, dari bom gas air mata hinggah senjata api, dan dari pukulan tangan dan tendangan kaki bersepatu lars sampai perangkat hukum bisa digunakan.

Sejak Orde Baru berkuasa, hamper ribuan petani mati terbunuh. Contohnya adalah tentara menembak petani-petani Sampang Jawa Timur dalam peristiwa pembangunan bendungan Nipah yang sampai sekarang belum dibangun, tentara menembak mati para petani haur Koneng Jawa Barat dalam peristiwa Haur Koneng, polisi menabrak ibu-ibu dengan traktor yang mempertahankan tanahnya di Persil IV Deli Serdang, serta pengerahan puluhan preman yang menyebabkan 2 orang cacat seumur hidup dalam kasus Petani di Kebun Limau Mungkur Deli Serdang.

Potret Penaklukan :
Tidak diakuinya bukti-bukti hak kaum tani atas tanah
Tanah-tanah garapan kaum tani yang tidak bersertifikat, meskipun sudah dikuasai lebih dari 30 tahun misalnya, merupakan sasaran empuk bagi penerapantiadanya bukti-bukti yang sah atas penguasaan itu dengan sasaran yang empuk untukdicap sebagai tanah Negara. Dalam tingkat yang lebih tinggi, proses tidak diakuinya bukti-bukti ini bahkan samapai pada tingkat tidak diakuinya sertifikat yang sah yang telah dimiliki petani, dengan menyatakan bahwa sertifikat tersebut aspal (asli tapi palsu) atau aspro (asli tapi salah prosedur).

Penetapan ganti rugi secara sepihak
Dalam semua sengketa tanah, pemerintah atau pemilik modal yang akan merampas hak petani atas tanah menetapkan nilai ganti rugi dengan sewenang-wenang, sesuai dengan kebutuhan dan kehendak mereka sendiri.

Manipulasi tanda tangan rakyat petani
Pernyataan bohong bahwa rakyat telah setuju menyerahkan tanah, bisa juga diperkuat dengan manipulasi atau pemalsuan tanda tangan. Pemalsuan ini dilakukan dengan memaksa rakyat membubuhkan tanda tangan pada kertas kosong, atau mengubah tanda tanag daftar hadir menjadi daftar persetujuan penerimaan penyerahan atau ganti rugi tanah, hal ini terjadi dalam kasus dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali (PK) PTPN II dalam kasus tanah Persil IV yang menyatakan bahwa pengurus organisasi perjuangan Masyarakat Persil IV telah menandatangani kesepakatan dengan PTPN II.

Tuduhan sebagai pembangkang, pengacau, atau anti pembangunan
Penduduk yang menolak tanahnya diambil/dirampas diberi cap pembangkang, PKI ataupun GPK. Pada intinya, pencapan ini adalah upaya memposisikan para pejuang petani pada suatu posisi social yang pantas untuk disingkirkan. Juga, pencantuman ET (Eks tapol) pada KTP sejumlah orang yang memperjuangkan ganti rugi tanahnya.

Menghambat laporan petani mengenai tindak pidana “musuh petani”
Dalam kasus tanah, senantiasa terlibat unsur pidana dari musuh rakyat. Satu jalan penegakkan prosedur hukum, dilakukan dengan mengadukan musuh sengketa itu ke kepolisia. Akan tetapi, pihak kepolisian yang diharapakan memproses laporan itu, tidak memihak petani. Sering pihak kepolisian tidak memproses laporan yang disampaikan petani kepadanya atas pengrusakan tanaman petani oleh para perampas tanah petani. Hal ini terbukti dari tidak pernah ada perampas tanah petani yang dihukum.

Penangkapan hinggah pemenjaraan tokoh-tokoh petani
Tidak cukup dengan kekerasan diatas, bentuk yang lebih maju adalah pihak musuh petani berusaha menjebak petani dalam tindak pidana. Dengan taktik yang demikian, bila terjadi kekerasan maka sengketa tanah yang terjadi dialihkan dari kasus perdata-menjadi kasus pidana. Bila keadaannya telah terjadi demikian, maka hak perdata petani akan dilenyapkan. Contohnya penangkapan tiga tokoh petani di wilayah masyarakat adapt Pinaik, Tapanuli Selatan.

Penggunaan senjata hinggah menghasilkan korban
Tingkat kekerasan terhadap petani sudah sampai pada penggunaan senjata yang menghasilkan korban-korban meninggal. Petani diperlakukan layaknya musuh Negara yang harus diperangi. Sampang, Kedung Ombo, Takalar, Persil IV, Porsea, Bongkal dan sederetan kasus lainnya yang menyertai perjalanan kelam nasib petani di Indonesia.


Isolasi lokasi petani terhadap dunia luar
Isolasi ini dilakukan untuk memencilkan petani dari dukungan dunia luar ( ornop, mahasiswa, wartawan ). Ini merupakan tindakan aneh, sebab sengketa tanah bukanlah daerah tertutup untuk warga Negara lain. Partisipasi dari warga lain untuk menyelidiki dan mengkabarkan sengketa tanah adalah hak asasi.



Muhammad Afandi Ojudista
(Lembaga : Deli Serdang Institute dan Presidium Gerakan Tani Persil – IV Deli Serdang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar