Sebuah Curhat dan Refleksi (A)
M.A Ojudista
Ide-ide dan gagasan Anarkis di Indonesia berkembang dengan bentuk-bentuk variannya, konteks dan karakter gerakan anarkis telah, sedang dan akan terus berubah. Selain perubahan konteks dan karakter gerakan, penting untuk dilihat secara luas bagaimana antara teori dan praktik gerakan anarkis membangun kekuatannya, bagaimana cara menghadapi kekejaman korporasi dan negara atau memang sama sekali belum berperan secara langsung dalam praktik-praktik perjuangan melawan kekejaman korporasi dan negara, dengan kata lain bagaimana gerakan anarkis/anti otoritarian menjawab kegelisahannya dan menafsirkannya, menghadapi kesempatan politik yang tersedia dan merumuskan tantangan-tantangan utama yang dihadapinya, serta pada saatnya memilih dan melancarkan aksi kolektifnya.
Dalam perkembanganya di Indonesia keterlibatan gerakan anarkis terlihat lemah dalam menghadapi revolusi sosial dan bahkan muncul lalu menghilang seperti sebuah episode dan seperti bukan faktor penting (dalam catatan tahun 2000-2010), sementara bumi dan makhluk-makhluk di dalamnya dalam kondisi yang terus kritis, petani yang tidak mempunyai alat produksi karena tanahnya dirampas oleh korporasi dan negara untuk peningkatan profitnya, perjuangan buruh hanya pada sebatas isu penaikkan upah, nelayan tradisional yang terus di libas oleh Trawl, anak-anak yang kehilangan waktu bermainnya dan lingkungan yang semakin kronis.
Menghadapi sejumlah situasi yang tengah dihadapi tersebut, sesungguhnya muncul satu pertanyaan penting yang patut kita jawab bersama-sama: Apa yang hendak diperbuat di tengah-tengah kondisi ini ? bahwa pada masyarakat-masyarakat yang berada dalam transisi demokrasi akan muncul fenomena-fenomena seperti: berkembangnya ketidakpercayaan politik, skeptisisme, dan sikap apatis yang berhubungan erat dengan pengalaman panjang masyarakat yang hidup di tengah-tengah kediktaktoran, sejarah kekacauan dan keterputusan hubungan-hubungan politik, ingatan-ingatan atas perilaku manipulatif, dan suatu transmisi nilai-nilai apolitis yang sistematik. Tetapi lebih jauh dari itu adalah budaya gerakan massa yang dapat melahirkan gerakan-gerakan sosial yang berumur panjang telah hilang dalam kehidupan sebagian besar rakyat di negeri ini.
Pemahaman ide-ide libertarian yang dalam masa pengimplementasiannya kedalam bentuk praktik-praktik perlawanannya sering kali terbentur pada sebuah kontradiksi yang horizontal ketika dihadapkan pada realitas sosial, sehinggah gagap dan kaku untuk untuk menjawab kegelisahannya, ketidakmampuan kolektif-kolektif untuk bertahan dalam masa yang panjang menjadi sebuah refleksi yang penting untuk menjawab sebuah masa depan gerakan anarkis yang diinginkan. Kontradiksi antara hal positif dan kandungan ide-ide libertarian yang tak terterbantahkan ini, dan keadaan menyedihkan dimana gerakan anarkis tumbuh, memiliki penjelasan dalam bermacam sebab, dari itu semua yang terpenting, ketiadaan prinsip-prinsip dan praktek organisasional dalam gerakan anarkis.
Dalam catatannya, gerakan anarkis di Indonesia lahir dari sejumlah kolektif-kolektif lokal yang mengusung teori-teori dan praktek, namun ada juga sebuah kondisi yang perlu diperhatikan sebagai sebuah refleksi tentang kecenderungan membangun sebuah kolektif yang tak punya pandangan masa depan, tidak juga sesuatu yang berlanjutan dalam kerja militan, dan biasanya lenyap, tanpa meninggalkan sepotong jejak dibelakang mereka. Jika disimpulkan, keadaan anarkisme revolusioner hanya dapat digambarkan sebagai "disorganisasi kronis yang menyeluruh". Seperti penyakit kuning, penyakit disorganisasi memperkenalkan dirinya kedalam organisme gerakan anarkis dan telah menguncangkannya untuk waktu bertahun-tahun, beberapa persolan yang sering timbul diakibatkan pemahaman yang tidak baik akan penerjemahan tentang prinsip-prinsip individualitas dalam anarkisme, sehinggah sering kali disalah tafsirkan dengan ketiadaan segala tanggung jawab, mengedepankan pada kedirian dalam pandangan kesenangan pribadi. Akhirnya melahirkan beberapa kondisi seperti menghilangnya tiba-tiba beberapa kolektif dengan alasan “kita tidak mesti harus berada di satu titik saja” namun pada proses selanjutnya hilang sama sekali dan tenggelam dalam sebuah kehidupan yang mainstream dan terkadang cenderung frustasi dan dalam pembelaannya berusaha mengacu pada prinsip-prinsip mendasar anarkisme dan teoritisi masa lalu.
Sepertinya hal ini melahirkan beberapa pekerjaan rumah yang panjang untuk membangun gerakan sosial (anti otoritarian) dan menjadi sebuah kewajiban yang harus dijawab oleh kita, karena itu upaya-upaya untuk memperkuat daya ubah gerakan sosial di Indonesia tidak hanya sekedar mengembangkan sejumlah tindakan teknis yang diperlukan untuk kerja-kerja advokasi atau aksi-aksi kolektif itu sendiri, melainkan yang terpenting adalah: (1) bagaimana mengembalikan gerakan sosial ke dalam rel kehidupan politik yang sesungguhnya dalam praktik-praktik anti otoritarian (2) sebagai implikasinya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas berpolitik dari rakyat atau kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan. Jadi, gerakan rakyat di Indonesia tidak lagi sekedar diletakkan sebagai upaya untuk mendorong perubahan kebijakan publik atau sekedar terlibat di dalam proses pembentukan kebijakan publik, tetapi menjadi bagian dari manuver-manuver politik kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan di dalam ruang-ruang politik untuk menghancurkan kekuasaan tersebut.
Pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan tangannya sendiri. Aksi pembebasan yang sadar ini tidak dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak dapat berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen¬al kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan kondisi sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.
Keseimbangan antara teori dan praktek merupakan penuntun yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat ini, begitu pula Anarkisme Revolusioner menerangkan bahwa revolusi, revolusi yang sadar, hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerak¬kan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut.
Setiap bentuk teori yang tidak diuji melalui praktik perjuangan bukan teori yang tegak, dan dengan sendirinya menjadi teori yang tidak berguna dari sudut pandang pembebasan manusia. Dengan cara melalui usaha terus menerus memajukan keduanya pada saat bersamaan, tanpa pemisahan kerja-kerja revolusioner, maka kesatuan teori dan praktik dapat dimantapkan, sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai hasilnya.
Apapun bentuk varian anarkis merupakan bagian secara luas dari pengimplementasian ide-ide anti otoritarian ke dalam sejarah gerakan pembebasan manusia yang mengutuk konstruksi penindasan, dan sehinggah kita yakin bahwa ide-ide anarkis bukan sesuatu yang utopia dan abstrak, karena kita telah melihat bagaimana kegagalan dan kebusukan kiri membuahkan struktur sosial yang seragam dan menikam kebebasan hinggah ke jantung dan menguatkan akumulasi keuntungan di dalam negara.
Dalam hal ini menjadi suatu tugas penting bagi kita untuk pendalaman dan penggalian tentang ide-ide anarkis ke dalam suatu bentuk strategi dan taktik perjuangan bersama, mencoba untuk belajar merancang program lewat perjuangan sosial yang bergerak sebagai kerangka bersama dan berfungsi sebagai langkah awal untuk membangun kekuatan libertarian ke dalam kolektif revolusioner yang aktif berjuang. Dan menjadi tugas besar untuk kita semua bagaimana memperbaiki perselisihan yang biasa terjadi di dalam internal kita antara anarkis individualis tentang peniadaan tanggung jawab “prinsip-prinsip anarkis” yang sering mengakibatkan perpecahan dan sukar untuk diselesaikan dalam gerakan kita.
(Pencerminan sebuah fase perjalanan dan pergulatan dimana penulis berada di dalamnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar