Semua revolusi modern telah berakhir dengan kembalinya kekuatan negara—Albert Camus
Dewasa ini, “demokrasi” menguasai dunia.
Runtuhnya rezim komunis Rusia, pendudukan di Afghanistan dan Irak yang
mengatasnamakan demokrasi, sistem Pemilu multipartai yang semakin
dipopulerkan di berbagai negara-negara miskin Dunia Ketiga,
pertemuan-pertemuan tingkat dunia yang membahas persoalan demokrasi
ekonomi, pembantaian warga sipil palestina di Jalur Gaza dan serangan
balas dendam pada warga Israel yang tidak bersalah demi kekuasaan modal,
juga jadwal Pemilu pada bulan April 2014 di Indonesia—yang selalu
diklaim dan digembar-gemborkan sebagai pesta demokrasi. Lalu kenapa kita
tidak merasa ada sesuatu yang menggembirakan, jika demokrasi adalah
solusi dari segala masalah kita dan dunia? Kenyataannya dunia masih juga
berjalan di antara kemiskinan, pengangguran, penghancuran ekologi,
penghancuran hak-hak warga oleh korporasi, dan masalah-masalah lainnya.
Lebih dari itu, kemandirian komunitas telah menjadi sesuatu yang
benar-benar langka. Apakah ada yang salah dengan “demokrasi”? Apakah ada
alternatif yang lebih memungkinkan dari “demokrasi”?
Setiap Anak Kecil Dapat Tumbuh Menjadi Seorang Presiden
Bohong!. Menjadi seorang Presiden berarti
memegang sebuah kekuatan dalam posisi yang hierarkis, sama halnya dengan
menjadi seorang milyuner: untuk ada satu orang Presiden, harus ada
milyaran orang yang memiliki kekuatan lebih rendah dari dirinya. Dan
seperti halnya dengan milyuner, hal yang sama berlaku juga dengan
keberadaan seorang Presiden: bukan sebuah kebetulan bahwa kedua tipe
tersebut saling menguntungkan, semenjak keduanya datang dari dunia yang
memiliki banyak hak-hak istimewa dengan cara membatasi hak-hak kita
sebagai orang-orang yang bukan bagian dari mereka. Sistem ekonomi kita,
juga sebenarnya tidaklah demokratis, kita semua sudah tahu bahwa sumber
kekayaan didistribusikan dengan proporsi yang secara absurd sangatlah
tidak adil. Untuk menjadi seorang Presiden engkau harus memulainya
dengan memiliki sumber kekayaan, atau setidaknya memiliki kedudukan
untuk mengumpulkan lebih banyak lagi sumber kekayaan. Walaupun apabila
memang benar bahwa setiap orang dapat tumbuh menjadi seorang Presiden,
hal tersebut tidaklah akan menolong milyaran dari kita yang kebetulan
tidak menjadi seorang Presiden—yang masih harus hidup dalam
bayang-bayang kekuasaannya. Hal inilah yang menjadi kesulitan mendasar,
yang intrinsik, dalam sistem demokrasi representatif[1]—di mana
kesulitan tersebut terjadi dalam level paling bawah maupun dalam level
teratas. Sebagai contoh: Walikota, bersama beberapa orang politisi
profesional, dapat mengagendakan pertemuan-pertemuan yang mendiskusikan
masalah-masalah yang dialami oleh warga kota tersebut. Kemudian mereka
menghasilkan berbagai keputusan setiap harinya untuk ditaati oleh setiap
warga kota, tanpa sekalipun pernah mengkonsultasikannya dengan para
warganya. Masalahnya, masalah yang dialami oleh tiap warga pasti
berbeda-beda, sehingga mereka yang tidak mengalami masalah yang sama
jelas akan merasa keberatan dengan diberlakukannya keputusan sepihak
dari Walikota. Tidak perlu heran apabila ketidakpuasan akan terus
terjadi. Para warga kota dapat memilih Walikota yang lain, walaupun
pilihannya hanya akan kembali ke lingkaran yang itu-itu saja: mereka
yang telah disediakan dalam daftar politisi atau calon politisi yang
sudah dipilihkan untuk warga kota. Dari pilihan itu, tetap saja
kepentingan dan kekuatan kelas dari para politisi tersebut akan selalu
bertentangan dengan kepentingan warga kota. Lagipula, para loyalis
partai politik selalu saja hanya melakukan hal-hal yang dianggap baik
demi mendapatkan kursi kekuasaan dan bagaimana caranya mempertahankan
kursi tersebut. Apabila tidak ada Presiden, maka bukan berarti bahwa
“demokrasi” kita tersebut kurang demokratis. Masalah mendasarnya adalah
korupsi, kepemilikan hak-hak istimewa dan hierarki tidak akan pernah
lenyap walaupun kita telah memilih jutaan Presiden; karena cacat
tersebut tidak terletak secara personal pada siapa yang menjadi
Presiden, melainkan bahwa hal-hal tersebut merupakan metode-metode
pemerintahan yang telah melekat erat dalam bentuk pemerintahan apa pun.
Tirani Mayoritas
Apabila anda pernah mengalami suatu masa
di mana anda menjadi bagian dari kelompok minoritas yang tidak masuk
hitungan sama sekali, sementara kelompok mayoritas memutuskan bahwa anda
harus kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi diri anda sendiri
tapi dianggap tidak penting oleh kelompok mayoritas, akankah anda hanya
menurut demi kepentingan mayoritas? Saat hal tersebut terjadi, benarkah
seseorang akan menyadari bahwa kekuasaan sekelompok orang ada karena
mereka telah menyingkirkan hak-hak orang lainnya? Kita menerima
kebenaran secara mutlak bahwa kepentingan mayoritas lebih penting karena
kita tidak pernah percaya bahwa hal tersebut akan mengancam kepentingan
kita—dan biasanya mereka, para minoritas yang telah terancam
kepentingannya, telah ditutup dulu mulutnya sebelum kita sempat
mendengar langsung tentang kondisi yang mereka alami. Tak ada
“masyarakat biasa” yang mengakui bahwa dirinya terancam oleh aturan
mayoritas, karena setiap orang berpikir ada sebuah “kekuasaan moral”
yang menyatakan bahwa kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya:
sesuatu yang di dalam kenyataan disebut sebagai fakta dengan merujuk
pada standarisasi nilai-nilai yang tidak pernah ditanyakan terlebih
dahulu, apakah kita sepakat atau tidak dengan aturan tersebut. Kalaupun
hal tersebut tidak disebut sebagai fakta, setidaknya kita begitu sering
mendengar hal tersebut dari berbagai teori, yang menyatakan bahwa ide
tentang kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya. Dari demokrasi
tersentral ala negara-negara Komunis, demokrasi Pancasila, sampai
dengan demokrasi pasar yang eksis sekarang ini, kesemuanya tidak pernah
mengakomodir kepentingan yang berbeda dari kepentingan mayoritas[2],
bahkan jika itu adalah sesuatu yang keliru. Demokrasi dengan aturan
mayoritas selalu berakhir dengan keputusan bahwa, apabila segala fakta
telah terbukti benar, maka semua orang akan dibuat melihat bahwa hanya
ada satu macam cara melakukan sesuatu yang bisa dikatakan benar alias
hanya ada satu macam kebenaran. Tak heran jika pola demokrasi seperti
demikian tak ada bedanya dengan kediktatoran. Masalahnya, dalam banyak
kasus bahkan apabila “fakta” dapat dihadirkan secara jelas pada semua
orang (yang jelas tak akan mungkin) beberapa hal tak dapat disetujui
begitu saja, yang merupakan bukti bahwa sebenarnya kebenaran tidak hanya
satu macam saja. Ada begitu banyak kebenaran di dunia ini, karena
masing-masing individu dan lingkungan yang membentuknya punya
keunikannya sendiri. Memaksa kebenaran yang bervariatif menjadi
kebenaran tunggal akan menghilangkan keindahan yang mewarnai hidup ini.
Kita semua membutuhkan bentuk-bentuk demokrasi yang mampu menghitung
peristiwa-peristiwa tentang perbedaan kebenaran, di mana kita juga bebas
dari sebuah sistem kediktatoran mayoritas sebagaimana kediktatoran
kelas yang memiliki hak-hak istimewa.
Aturan Hukum
Perlindungan yang disediakan oleh
institusi-institusi legal yang kita miliki sama sekali tidak cukup.
“Aturan dan hukum yang adil”, yang dewasa ini diberhalakan oleh mereka
yang memang memerlukan perlindungan atas kepentingannya (misalnya tuan
tanah atau direktur bank), tidak dapat melindungi setiap orang dari
kekacauan atau ketidakadilan; hal tersebut hanya menciptakan arena
spesialisasi baru, di mana potensi dan kekuatan yang sebenarnya dimiliki
oleh komunitas akan direduksi ke dalam sebuah arena jual beli yang
mahal untuk membayar hakim atau pengacara. Masyarakat yang miskin,
lemah, dan tidak berdaya, adalah kelompok yang paling akhir diperhatikan
oleh aturan hukum yang ada. Di bawah kondisi demikian, potensi mandiri
dan kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat akan disibukkan pada
persoalan pemenuhan kemampuan finansial untuk membiayai institusi
pengadilan, bukan digunakan untuk merebut kembali hidup yang telah
dirampas. Memapankan keadilan dalam masyarakat melalui penguatan dan
pemaksaan kontrol oleh hukum tidak akan pernah berhasil: beberapa hukum
hanya dapat menginstitusionalkan apa yang telah menjadi aturan dalam
masyarakat. Apa yang kita butuhkan adalah meninggalkan demokrasi
representatif, untuk sebuah demokrasi partisipatoris[3] sepenuhnya.
Bukan Sebuah Kebetulan Apabila “Kebebasan” Tak Ada Dalam Kotak Pemilu
Kebebasan bukanlah sebuah
kondisi—melainkan sesuatu yang lebih dapat dikatakan sebagai sebuah
sensasi—dan hal tersebut bukanlah sebuah konsep akan janji kesetiaan
untuk dituju, sebuah sebab yang mendasari tindakan, ataupun sebuah
standar yang mengharuskan kita berbaris di bawah satu bendera; melainkan
sebuah pengalaman yang harus anda alami sehari-hari yang bila tidak
dialami, maka kebebasan tersebut akan meninggalkan anda. Kebebasan
bukanlah saat kita beraksi ketika bendera dikibarkan dan bom-bom
dijatuhkan hanya demi “membuat dunia aman untuk demokrasi”, tak peduli
apa pun warna bendera yang dikibarkan (bahkan juga bendera hitam).
Kebebasan tak bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan ataupun doktrin
filosofis apa pun. Memberikan kebebasan pada orang lain tak akan mampu
memperkuat kebebasan, selain hanya mengekang kemampuan orang tersebut
untuk menemukan kebebasannya sendiri. Kebebasan muncul pada saat-saat
yang sederhana; saat membuat anak kecil percaya pada sesuatu yang
dilakukannya, pada momen-momen bersama dengan beberapa teman dekat dan
kerabat, ataupun pada saat para pekerja menolak perintah pimpinan
serikat buruhnya, dan kemudian mengorganisir pemogokan mandiri tanpa
pemimpin. Apabila kita memang memperjuangkan kebebasan kita, maka kita
harus mulai berjanji pada diri kita sendiri untuk selalu mengejar dan
menghargai momen-momen tersebut dan berusaha semaksimal mungkin untuk
mengembangkannya. Hal ini jelas lebih baik daripada menghabiskan waktu
kita untuk melayani kepentingan partai atau ideologi (apa pun).
Kebebasan yang nyata tak akan dapat ditemui dalam kotak Pemilu.
Kebebasan bukan sekedar kemampuan untuk memilih satu dari beberapa
pilihan, melainkan berpartisipasi aktif untuk membuat pilihan sendiri:
membentuk dan mendekor ulang lingkungan di mana pilihan-pilihan tersebut
dapat terbentuk. Tanpa hal ini, kita tak akan memiliki apa pun, selain
hanya menerima pilihan yang telah ada berulang-ulang kali—membuat
keputusan yang hasil akhirnya juga akan selalu sama. Apabila pilihan ada
di tangan kita, maka segala sesuatu berarti kemungkinan baru. Dan
ketika telah tiba saatnya untuk mengambilalih kekuatan dan kekuasaan
atas diri kita sendiri, maka tak akan ada seorang pun yang dapat
merepresentasikan diri kita—hal itu adalah sesuatu yang harus kita
lakukan secara mandiri. Kedaulatan tak akan pernah bisa
direpresentasikan, bukan?!
“Lihat, Kotak Suara Pemilu—Demokrasi!”
Apabila kebebasan adalah sesuatu yang
berharga di mana telah banyak generasi yang berjuang dan mati untuknya,
maka kotak suara Pemilu adalah sebuah pereduksian makna atas kebebasan
itu sendiri; seseorang cukup memasukkan pilihan suaranya pada sebuah
kotak, kemudian kembali ke tempat kerjanya di mana dirinya tak lagi
memiliki kontrol atas hidupnya, yang juga berarti hal tersebut justru
tidak dapat dibilang sebagai upaya untuk meneruskan perjuangan demi
kebebasan yang telah dilakukan lebih dulu oleh generasi-generasi sebelum
kita. Untuk gambaran yang lebih mudah mengenai kebebasan, lihatlah
musisi yang sedang melakukan improvisasi musikal bersama beberapa
partnernya; ia melakukannya dalam suasana yang menyenangkan, dengan
kerjasama yang benar-benar tanpa paksaan, sehingga mereka dapat aktif
mencari nada, tempo, dan suasana yang nyaman di mana mereka dapat
eksis—semua berpartisipasi untuk mentransformasikan dunia yang
sebaliknya juga mentransformasikan diri mereka. Ambil model tersebut dan
terapkan pada setiap interaksi kita dengan orang lain, maka anda akan
memiliki sesuatu yang secara kualitas jadi lebih baik daripada sistem
yang ada saat ini: sebuah harmoni dalam hubungan dan kehidupan
manusia—sebuah demokrasi yang sesungguhnya. Untuk mencapai titik
tersebut, kita harus mulai menganggap Pemilu sebagai sebuah ekspresi
kebebasan dan partisipasi yang telah ketinggalan zaman dan tak layak
dilakukan untuk merengkuh kebebasan yang lebih nyata.
Demokrasi Representatif Memiliki Kontradiksi Dalam Istilahnya Sendiri
Tak ada seorang pun yang dapat
merepresentasikan kekuatan dan ketertarikan yang anda miliki—anda hanya
akan mendapat kekuatan dengan melakukan sesuatu, dan anda hanya akan
dapat tahu apa ketertarikan anda dengan cara melibatkan diri secara
langsung. Para politisi telah mengembangkan karirnya dengan mengklaim
bahwa mereka merepresentasikan orang lain seolah-olah kebebasan dan
kekuatan politis dapat diselenggarakan oleh seorang wakil. Sejujurnya,
para politisi yang sering disebut sebagai wakil rakyat, hanya
orang-orang yang mewakili kepentingannya sendiri—dan kepentingan
kelasnya yang berbeda dengan kita, masyarakat kebanyakan. Kepentingan
para politisi yang mencari suara kita adalah mempertahankan sistem yang
membeda-bedakan manusia ke dalam kelas-kelas sosial, sehingga mereka
dapat menikmati hak istimewa yang hanya tersentral di sekitar mereka
saja. Kepentingan kita adalah menghancurkan tersentralnya akses-akses
atas hak-hak hidup dan pembagian manusia ke dalam kelas-kelas sosial, di
samping memberdayakan dan memandirikan diri kita sendiri. Pemilu adalah
ekspresi dari ketidakberdayaan dan ketidakmandirian kita: sebuah ijin
yang kita berikan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat mengerti
kemampuan masyarakat kita melalui orang lain yang nantinya akan mewakili
kita. Saat kita membiarkan para politisi tersebut menyediakan pilihan
bagi kita, maka hal tersebut tak ada bedanya dengan saat kita
menyerahkan urusan teknologi pada para teknokrat, urusan kesehatan pada
dokter, tata kota yang kita tinggali pada ahli planologi; kita akan
berakhir dengan terus hidup di sebuah dunia yang asing bagi diri kita
sendiri, yang walaupun tenaga kita yang menciptakannya, kita tetap tidak
mengerti apa yang sedang kita lakukan selain hanya menunggu diberitahu
oleh para pemimpin dan para spesialis tentang apa saja kemungkinan yang
kita miliki. Faktanya adalah kita tak perlu memilih satu di antara
beberapa kandidat Calon Legislatif, Presiden, merk soft-drink, channel televisi, koran,
ataupun ideologi politik. Kita dapat membuat keputusan kita sendiri
sebagai individu dan komunitas, kita dapat membuat makanan yang enak
dengan tangan kita sendiri, membuat koalisi sendiri, media sendiri,
hiburan sendiri: kita dapat menciptakan pendekatan individual kita
sendiri pada hidup yang memberi kita semua keunikan masing-masing.
Konsensus
Secara radikal, demokrasi partisipatoris
juga dikenal sebagai demokrasi konsensus, sesuatu yang di belahan dunia
lain telah dikenal cukup akrab dan bahkan dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari, dari komunitas adat di Amerika Latin sampai pada sel-sel
aksi politis posmodern (grup affiniti atau kelompok affinitas[4]) di
berbagai negara Dunia Pertama ataupun pertanian organik yang
dioperasikan secara kooperatif di Australia. Demokrasi konsensus juga
telah berlangsung selama sekian waktu dalam komunitas masyarakat tani yang menolak
penambangan dan pembangunan real estate. Demokrasi konsensus adalah sebuah bentuk
demokrasi langsung, yang sangat berbeda dengan demokrasi representatif:
para partisipan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan harian,
melalui desentralisasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga
pengambilan kontrol atas hidup sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat
mungkin. Berbeda dengan demokrasi yang mengandalkan aturan mayoritas,
nilai-nilai yang dianut demokrasi konsensus membutuhkan keterlibatan
setiap individu secara setara; apabila ada satu saja orang yang tidak
setuju dengan sebuah keputusan yang diambil, maka adalah tugas semuanya
untuk menemukan solusi baru yang dapat diterima oleh semua. Demokrasi
konsensus tidak menuntut agar seseorang menerima kekuatan orang lain
atas hidupnya, walaupun hal ini juga bukan berarti bahwa tiap orang
tidak membutuhkan orang lain; walaupun dalam soalan efisiensi, hal
seperti ini amatlah lamban, tetapi dalam segi kebebasan dan itikad baik,
hal tersebut akan mendapat poin yang sangat tinggi. Demokrasi konsensus
tidak memaksa orang untuk mengikuti pemimpin ataupun standarisasi
nilai, melainkan membiarkan orang lain untuk memiliki tujuannya dan cara
pencapaiannya sendiri.
Otonomi
Agar demokrasi langsung dapat menjadi
berarti, orang-orang harus memiliki kontrol atas hidup yang berkaitan
dengan dirinya maupun sekelilingnya. Otonomi adalah ide di mana pilihan
untuk menentukan apa yang terbaik bagi diri kita masing-masing ada di
tangan kita, dan bukan orang lain—apalagi orang yang hanya kita kenal
dari poster atau baliho yang dipasang menjelang Pemilu. Otonomi juga
berarti bahwa tak ada seorang pun yang dapat menentukan pilihan tentang
apa yang harus anda lakukan untuk mengisi waktu dan potensi yang anda
miliki—ataupun menentukan bagaimana lingkungan sekitarmu harus dibentuk.
Jangan kacaukan hal tersebut dengan “kemerdekaan” individual yang
sempit—dalam kenyataannya tak ada seorang pun yang benar-benar merdeka
dan mandiri sejak banyak hal dalam kehidupan kita saling terhubung dan
tergantung dengan sesama kita (kita terbiasa bekerja dan menyebut diri
kita mandiri, padahal kita tetap membutuhkan peran orang lain untuk
membuat kita dapat hidup mandiri[5])—kedua hal tersebut hanyalah sebuah
mitos individualis sempit yang membuat kita menolak mengakui perlunya
keberadaan komunitas. Pemujaan yang berlebih terhadap istilah “mandiri”
dalam masyarakat kompetitif menegaskan sebuah penyerangan terhadap siapa
pun yang tak mau melakukan pengeksploitasian atas orang lain demi
kepentingannya sendiri. Contoh jelasnya terdapat pada istilah otonomi
dan mandiri seperti yang sering disebut-sebut oleh media massa dan
pemerintah (seperti dalam kata “Otonomi Daerah”[6]). Otonomi yang kita
tekankan adalah sebuah hubungan saling ketergantungan yang bebas di
antara sesama kita yang berbagi konsensus, seperti pilihan dengan siapa
kita bertindak secara bebas demi pembangunan swakelola atas seluruh
aspek kehidupan, dll. Otonomi adalah sebuah antitesis dari birokrasi
(sebuah hal yang jelas membuat kata “Otonomi Daerah” tampak sebagai
sebuah lelucon). Agar otonomi dapat terwujud, segala aspek komunitas,
dari teknologi hingga sejarah harus diorganisir ulang agar dapat diakses
oleh siapa pun. Agar perjuangan ini menemui titik terang, semua orang
harus menggunakan kesempatan akan akses tersebut. Grup-grup otonomis
dapat dibentuk tanpa perlu sebuah agenda yang jelas, selama sesama
anggotanya mendapat keuntungan dari partisipasi anggota lainnya.
Beberapa grup dapat mengandung kontradiksinya sendiri, sebagaimana
secara individu kita semua juga seperti itu, tetapi masih tetap dapat
bekerja bersama-sama.
Momen-momen di mana kita semua harus
diseragamkan di bawah satu bendera, satu model dan satu pola, sudah tak
mampu lagi untuk menjawab kebutuhan kita akan kebebasan yang setara.
Kita harus mencoba memasuki dunia baru. Grup-grup otonomis harus
mengambil sikap yang jelas untuk melawan tekanan dari luar (maupun dari
dalam) yang menyatakan bahwa tak ada hak bagi individu untuk menentukan
hidupnya sendiri, atau mereka yang berusaha mengilfiltrasi otonomi dan
konsensus dengan melakukan penghancuran struktur. Kekuasaan atas otonomi
harus dilakukan dengan cara apa pun, termasuk penghancuran struktur
status quo dan menggantikannya dengan struktur yang lebih demokratis
secara radikal. Sangat tidak cukup saat kita menghancurkan jalanan
karena menganggap pembangunan jalan hanya menimbulkan lebih banyak lagi
polusi. Kita harus mampu mencari cara seperti menyediakan transportasi
gratis, misalnya. Atau contoh lainnya, kita tak cukup sekedar mengkritik
pola pendidikan di Indonesia tanpa mencoba membentuk sebuah sekolah
dengan pola pendidikan yang berbeda. Tak perlu sekolah besar, cukup
sekolah kecil non-formal yang menggunakan pola pengajaran yang
progresif.
Aksi Langsung
Otonomi juga berarti aksi langsung, tidak
menunggu proposal untuk disetujui oleh “jalur legal” yang selalu
memakan waktu yang berkepanjangan dan dana yang mengalir terus menerus
tanpa jelas ke mana akhirnya. Mari bangun jalur kita sendiri. Kalau kita
ingin orang-orang yang kelaparan mendapatkan makanan, jangan berikan
uangmu pada institusi legal yang biasanya membutuhkan biaya-biaya
administrasi yang akhirnya uangmu akan habis untuk keperluan birokratis
mereka—cari di mana sumber makanan murah dan cukup bergizi, kumpulkan,
dan bagikan langsung pada mereka yang mengalami kelaparan. Kalau kamu
membutuhkan makanan murah, jangan tunggu sampai ada orang kaya memberimu
makanan ataupun mencari tanah kosong dan meminta ijin pada insitusi
legal untuk menggunakan lahan tersebut—hal itu hanya akan memakan waktu
bertahun-tahun dan jalur berbelit-belit yang malahan akan menghabiskan
dana yang kamu miliki. Cari lahan-lahan kosong, tanami dengan tanaman
pangan yang mampu tumbuh di tempat tersebut. Langkah berikutnya adalah
memelihara dan menjaganya agar dapat tumbuh subur. Akan lebih baik jika
dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut secara gotong-royong dengan
lebih banyak orang. Kita akan mampu untuk memelihara dan menikmati
hasilnya bersama-sama. Apabila ada tuan tanah berusaha meratakan lahan
panganmu karena kamu dianggap menggunakan lahan kosongnya tanpa izin,
pertahankanlah bersama-sama. Para tuan tanah tersebut terlihat benar
hanya karena mereka memiliki uang yang jauh lebih banyak daripada dirimu
dan hukum memang melindungi mereka, bukan kalian. Jangan tunggu sebuah
ijin legal disahkan untukmu, jangan tunggu mereka yang memegang
kekuasaan memberitahu padamu apa yang harus dilakukan dengan hidupmu.
Lakukan sesuatu. Saat ini juga.
Federasi Tanpa Pemimpin
Grup-grup otonomis independen dapat
bekerjasama dalam sebuah federasi tanpa satu kelompok pun yang memiliki
hak lebih untuk memutuskan sesuatu yang merupakan kepentingan semua
kelompok. Beberapa struktur sosial seperti demikian tampak seperti
sebuah utopia. Tapi sebenarnya hal-hal seperti itu mampu
direalisasikan—tak perlu berharap akan terjadi dalam skala besar, cukup
kita lakukan dalam skala kecil terlebih dahulu. Hal-hal besar sendiri
selalu lahir dari hal-hal kecil yang terus terakumulasi dan
berkelanjutan. Individu-individu yang merasa setuju sepenuhnya dengan
keputusan sebuah grup tidak boleh menutup dirinya untuk bergabung juga
dengan grup lainnya untuk mengembangkan keinginannya. Agar hal-hal
seperti itu dapat berjalan dalam jangka panjang, kita semua perlu untuk
tetap mengembangkan sikap kooperatif, saling membutuhkan dan toleransi
terhadap generasi yang muncul berikutnya—hal-hal seperti itulah yang
kami usulkan saat ini.
Bagaimana Menyelesaikan Perbedaan Masalah Tanpa Perlu Keberadaan Pemerintah Ataupun Pemimpin?
Dalam struktur sosial di mana partisipasi
tiap individu diutamakan, maka harus ada sebuah tekanan untuk mendorong
pereduksian kebiasaan-kebiasaan yang merusak dan penuh kekerasan.
Dibutuhkan sebuah pendekatan yang humanis, bukan yang penuh paksaan dan
tekanan seperti yang selama ini pemerintah lakukan dengan ancaman
penjara dan aparat keamanannya yang terkenal penuh kekerasan—yang hanya
memupuk korupsi di antara para petugas hukum dan membenarkan tindakan
kriminal yang ada. Mereka yang menolak untuk berintegrasi dengan
komunitas manapun, serta menolak bantuan atau masukan dari yang lain,
jelas akan menemukan kenyataan bahwa diri mereka akan tersisihkan dari
interaksi manusia; tetapi hal tersebut pun lebih baik daripada
pengasingan di penjara, seperti yang selama ini selalu berlaku dalam
sistem sosial kita. Kekerasan seharusnya hanya dijadikan sebuah alat
untuk mempertahankan diri bagi sebuah komunitas, bukannya sebagai alasan
untuk menghancurkan komunitas lainnya atas pembenaran superioritas diri
seperti yang selama ini juga selalu terjadi dalam sistem sosial kita.
Hal ini juga diaplikasikan bagi kelompok masyarakat ataupun grup
otonomis yang belum menjalin hubungan baik dengan komunitas kita.
Ketidaksetujuan yang memasuki tahapan sangat serius dapat diselesaikan
dengan berbagai cara seperti reorganisasi grup ataupun pembubaran.
Seringkali individu-individu yang tidak dapat lagi mendapatkan kata
setuju dalam sebuah grup ataupun komunitas, justru dapat lebih banyak
meraih sukses dalam melakukan pola kooperatif yang dilakukan bersama
individu lain di luar komunitasnya yang pertama. Apabila dalam konsensus
tak dapat ditemukan kata setuju pada sebuah komunitas, maka grup
tersebut perlu untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil dan saling
setuju dalam beberapa aktifitasnya. Hal tersebut memang kadang membuat
frustrasi, tetapi hal itu tetap lebih baik daripada akhirnya keputusan
dipaksakan oleh sebagian individu yang merasa memiliki kekuatan lebih
dari yang lainnya. Semua komunitas independen harus selalu berurusan
dengan hal tersebut, suka atau tidak suka, apabila memang tetap ingin
membangun sebuah komunitas yang sehat dan terbuka.
Hidup (Ternyata) Tak Memerlukan Ijin
Ini adalah bagian tersulit, tentu saja.
Tetapi bukankah kita tidak sedang membicarakan sebuah aturan sosial yang
adil? Kita sedang mendiskusikan mengenai sebuah revolusi total atas
hubungan manusia sehari-hari—sebuah solusi yang perlu dilakukan untuk
menangani masalah-masalah yang dihadapi oleh spesies kita dewasa ini.
Mari hadapi kenyataan—bahwa sebelum kita semua mampu menerapkan hal
tersebut, maka tak perlu heran saat kekerasan yang terjadi dalam
interaksi kita sehari-hari akan terus berlanjut, dan tak ada sistem
ataupun hukum yang dapat menghentikannya dan melindungi kita. Alasan
terbaik untuk menggantikan demokrasi representatif adalah dengan cara
membangun demokrasi konsensus di mana tak akan ada lagi solusi palsu.
Memang tak ada cara yang mudah untuk menekan angka konflik tanpa mencari
akar konflik itu sendiri. Mereka semua yang terlibat harus mulai
belajar untuk menjadi eksis tanpa harus merendahkan yang lain, serta
mengeliminir kebiasaan-kebiasaan menyebalkan kita sendiri yang justru
membuat kita lelah untuk membuat sesuatu yang lebih baik di dunia ini.
Perkembangan pertama yang dapat diraih dalam dunia baru ini dapat
ditemukan dalam hubungan pertemanan dan cinta kita. Saat kita semua
terbebaskan dari hubungan yang dipaksakan, hubungan akan menjadi lebih
nyaman. Ambil contoh ini, dan terapkan dalam seluruh masyarakat—ini arti
yang dimaksud dengan kalimat “melampaui demokrasi”. Adalah sebuah
prospek yang menantang untuk mencapai hal tersebut dari tempat kita
berada saat ini… tetapi apa yang menjadi menarik dan indah dari
konsensus dan otonomi adalah bahwa kita tidak perlu menunggu terpilihnya
sebuah pemerintahan yang adil dan mengerti keinginan kita semua untuk
mengaplikasikan konsep di atas—kita dapat mempraktekkannya saat ini
juga, dengan orang-orang di sekitar kita dan secara langsung menerima
keuntungan dari hal tersebut. Sekali saja hal tersebut dipraktekkan,
maka akan terbuka jelas pola hidup tersebut bagi orang lainnya; tak
perlu ada khotbah mengenai mana yang baik dan mana yang buruk saat kita
menghidupi aktifitas-aktifitas secara langsung. Bentuk grup otonomismu
sendiri untuk menjawab tantangan bahwa penguasa tak diperlukan untuk
menentukan jalan hidupmu, dan untuk membentuk lingkungan di sekitarmu
yang berarti juga hidupmu sendiri. Tak ada seorang wakil pun yang dapat
melakukannya untukmu—seperti juga bahwa sejak dulu tak pernah ada
seorang wakil pun yang mampu melakukan sesuatu untuk hidup kita. Dari
hal-hal kecil seperti yang kita lakukanlah maka demokrasi yang
sesungguhnya akan terbentuk. Maka, saat seseorang berkata kepada kita di
suatu waktu, “Berterimakasihlah bahwa kamu telah hidup di dalam alam
yang lebih demokratis dibanding masa lalu,” kita akan menjawabnya:
“Tidak cukup sampai di situ! Kita harus mengetahui dengan lebih jelas
apa yang kita inginkan dan apa yang harus kita lakukan, lewat pengalaman
langsung kita sendiri.”
Aksi Langsung Versus Pemilu
Panduan Bagi Komunitas-Masyarakat Non-Partai
Panduan Bagi Komunitas-Masyarakat Non-Partai
Di Indonesia, Pemilu yang disebut sebagai
pesta demokrasi di mana “masyarakat umum” akan memilih calon pemimpin
mereka—yang diharapkan akan menciptakan perubahan—telah kehilangan
pamornya. Ini bukan berarti bahwa masyarakat itu sendiri telah memiliki
kesadaran bahwa sistem demokrasi elit ini sudah busuk dan sepatutnya
diganti. Buktinya rutinitas ajang popularitas politisi dan elit borjuis
terus saja berlangsung. Mengapa seperti ini? Jawaban yang mungkin paling
mudah dan sederhana adalah bahwa, meskipun masyarakat “tidak percaya
lagi” terhadap pemilu, mereka tidak punya pilihan lain mengenai pilihan
macam apa yang dapat menciptakan perubahan yang berarti, selain memilih
politisi.
Inilah mengapa banyak masyarakat merasa
tak berdaya. Apalagi menimbang mentalitas budaya dominan masyarakat
Indonesia di mana ketergantungan dan pendambaan akan pemimpin politik
masih sangat kental. Artinya, rasa percaya diri masyarakat terhadap
potensi diri mereka sendiri untuk membuat perubahan sangatlah rendah.
Meski begitu, budaya sendiri merupakan sesuatu yang dibuat oleh relasi
antar manusia, oleh aktivitas manusia itu sendiri, yang berarti
mentalitas yang dihasilkan oleh budaya itu sendiri sangat mungkin untuk
dirubah. Untuk merubahnya, kita harus terbiasa untuk melakukan aksi
langsung.
Bila memang benar bahwa pemilu hanya akan
memperbesar kantong para politisi dan elit borjuis, maka, adakah cara
yang lebih efisien dan efektif untuk dapat merubah kehidupan kita?
Jawaban yang paling mungkin dan berarti adalah bagaimana kita mewakilkan
diri kita sendiri untuk memengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat
mengenai kehidupan kita. Bagi sebagian orang, pilihan semacam ini
disebut sebagai aksi langsung.
Untuk lebih menjelaskannya, aksi langsung
bukanlah cara-cara melobi atau kembali memilih kandidat untuk
partisipasi politik, sama sekali bukan. Aksi langsung adalah bagaimana
kita membangun suatu cara di mana kita sendiri secara langsung
berpartisipasi aktif dalam perencanaan hidup kita. Ini berarti kita
memotong peranan para penengah. Aksi langsung adalah juga bagaimana kita
menyelesaikan permasalahan tanpa harus kompromi atau mempercayai
peranan para elit politik di DPR, kepanjangan tangan korporasi, atau
siapa pun yang mengklaim memiliki kekuasaan di atas kita. Contoh konkrit
aksi langsung ada di mana-mana. Ketika sekelompok orang
mendistribusikan pangan secara cuma-cuma bagi tunawisma tanpa harus
menunggu kucuran dana atau izin pemerintah, mereka telah melakukan aksi
langsung. Ketika seseorang membuat dan mendistribusikan medianya sendiri
tanpa harus tergantung pada media-media milik borjuis untuk memuatnya,
dia telah melakukan aksi langsung. Ketika komunitas kampung membangun
sekolah mandirinya sendiri dan menginisiatifkan pelajarnya untuk membuat
kurikulum pelajaran menurut kebutuhan mereka masing-masing tanpa harus
bersandar atau tergantung pada lembaga pendidikan resmi, itu adalah aksi
langsung. Aksi langsung merupakan fondasi perjuangan masyarakat yang
sebenarnya, ketika mereka ingin melakukan perubahan yang berarti.
Artinya, aksi langsung adalah ketika kita tidak lagi menuntut atau
mengemis agar perubahan dapat dilakukan oleh seseorang yang berada di
luar dari kita dan komunitas kita—tapi bagaimana kita dan komunitas kita
sendiri yang mengupayakan perubahan tersebut sekarang juga.
Dalam banyak hal, aksi langsung jelas
lebih efektif dibandingkan pemilu. Pemilu itu seperti judi, bila salah
satu kandidat tidak terpilih, maka energi yang telah diupayakan oleh
komunitas-masyarakat untuk menggolkan kandidatnya akan terbuang sia-sia.
Dengan aksi langsung, komunitas-masyarakat akan lebih yakin dengan
kerjasama serta energi yang mereka keluarkan. Dan manfaat yang didapat
dari aksi langsung akan membuat infrastruktur dalam masing-masing
komunitas semakin kuat. Hubungan antar komunitas pun akan lebih
hidup—serta manfaat-manfaat lainnya yang tidak akan sia-sia.
Pemilu memusatkan seluruh kekuatan
masyarakat ke tangan segelintir politisi. Semua itu dilakukan dengan
berbagai intrik, manipulasi politik, serta kongkalikong dengan para
pengusaha. Mereka memaksa setiap masyarakat untuk tunduk dan tidak punya
partisipasi apa-apa, selain apa yang mereka perintahkan lewat
mobilisasi massa dan bayaran yang sangat kecil dibanding keuntungan yang
mereka dapatkan. Dengan aksi langsung, engkau akan lebih mengenal
kemampuan, inisiatif, serta sumber daya-sumber daya yang ada di
sekitarmu, dan memahami sejauh mana kau bisa melakukan perubahan yang
sebenarnya.
Pemilu juga memaksa semua orang agar
menyepakati suatu landasan yang belum tentu cocok dengan kita. Berbagai
bentuk koalisi akan dibangun untuk membuat kompromi—setiap faksi
bersikukuh bahwa landasan merekalah yang paling benar dan faksi yang
lainnya hanya menjadi perusak semenjak tidak dapat mengikuti landasan
faksi tersebut. Namun dari kesemuanya, tak ada satu pun yang
memperjuangkan kepentingan kita. Akan ada banyak energi yang terbuang
sia-sia dalam rutinitas tuding-menuding ini. Dengan aksi langsung, kita
tidak membutuhkan dagelan semacam itu: berbagai kelompok yang berbeda
dapat menggunakan cara yang berbeda juga—semua itu dilakukan menurut apa
yang mereka percayai dan mereka butuhkan. Berikutnya, yang lebih
penting, mereka merasa nyaman melakukannya. Dengan demikian, kemungkinan
untuk membangun kerjasama yang saling mengisi dapat terjadi. Masyarakat
yang menggunakan aksi langsung yang berbeda-beda tidak perlu berdebat
sengit, kecuali mereka memang sedang mencari konflik (mungkin karena
ekses pengalaman pemilu bertahun-tahun yang membuat mereka sulit untuk
menerima pendapat berbeda dari yang lain). Konflik yang terjadi di
masa-masa pemilu seringkali menjadi pengalihan dari
permasalahan-permasalahan yang nyata, sebagaimana ketika beberapa
kelompok masyarakat terlibat dalam drama dan konflik dari partai politik
tertentu. Dengan aksi langsung, permasalahan yang mendesak harus
diangkat, dibahas, dan menuntut untuk diselesaikan.
Lagipula, Pemilu hanya dilakukan dalam
kurun waktu lima tahun sekali. Aksi langsung dapat dilakukan kapan saja.
Pemilu hanya mengangkat beberapa agenda politik yang dibuat oleh elit
politik, sementara aksi langsung dapat dilakukan di setiap aspek
kehidupanmu dan di mana saja engkau berada. Pemilu dan voting sering
dilebih-lebihkan sebagai “kebebasan” yang sedang beraksi. Pemilu
bukanlah kebebasan, karena kebebasan berarti secara aktif memikirkan dan
memutuskan sesuatu dari awal—bukan sekedar kebebasan dalam memilih apa
yang hanya disediakan oleh mereka, para elit politik yang tak pernah
kita kenal. Tak ada yang dapat menggantikan aksi langsung. Dengan aksi
langsung, engkau sendirilah yang membuat rencana, mencoba
pilihan-pilihan dan resiko-resikonya. Dan batas dari semua itu hanyalah
langit.
Catatan:
[1] Demokrasi representatif atau demokrasi perwakilan, adalah jenis demokrasi yang paling umum kita ketahui—dari yang dipraktekkan dalam kenegaraan, sampai pada komunitas kecil pada umumnya. Demokrasi model seperti ini sangat rentan terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh para wakil yang diklaim dipilih oleh banyak orang. Selain itu, kendali terhadap pilihan yang akan diambil sangat terpusat hanya pada para pemimpinnya, sehingga mayoritas orang, sebenarnya hanya dijadikan alat saja bagi para pemimpin tersebut. Tak heran jika kemudian demokrasi representatif melahirkan pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Demokrasi representatif, secara mudahnya dapat diidentifikasi berbentuk piramida di mana keputusan yang dibuat berasal dari atas (minoritas) ke bawah (mayoritas).
[1] Demokrasi representatif atau demokrasi perwakilan, adalah jenis demokrasi yang paling umum kita ketahui—dari yang dipraktekkan dalam kenegaraan, sampai pada komunitas kecil pada umumnya. Demokrasi model seperti ini sangat rentan terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh para wakil yang diklaim dipilih oleh banyak orang. Selain itu, kendali terhadap pilihan yang akan diambil sangat terpusat hanya pada para pemimpinnya, sehingga mayoritas orang, sebenarnya hanya dijadikan alat saja bagi para pemimpin tersebut. Tak heran jika kemudian demokrasi representatif melahirkan pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Demokrasi representatif, secara mudahnya dapat diidentifikasi berbentuk piramida di mana keputusan yang dibuat berasal dari atas (minoritas) ke bawah (mayoritas).
[2] Pada kenyataannya, kepentingan
mayoritas ini juga memiliki kontradiksi. Contohnya, saat Partai politik yang
memenangkan pemilu dengan suara paling banyak, mayoritas dari para
pemilihnya tetap saja berkubang dalam kemiskinan dan rasa frustasi—hanya
para pemimpin dan elit-elit partai tersebut saja yang dapat menikmati
hak-hak istimewanya. Siapa pun pemimpinnya, selama masyarakat tidak
mempunyai kontrol langsung terhadap keputusan-keputusan yang dibuat,
masyarakat hanya akan dijadikan sebagai sapi perahan oleh para pemimpin.
[3] Demokrasi partisipatoris atau
demokrasi akar-rumput atau biasa juga disebut demokrasi konsensus,
adalah kebalikan dari demokrasi representatif. Demokrasi model ini
sangat menekankan pada partisipasi aktif dari anggota komunitas bukan
hanya untuk menentukan pilihan saja, tapi juga dalam pembuatan
pilihan-pilihan. Demokrasi partisipatoris jelas tidak dapat dipraktekkan
dalam kenegaraan karena negara membutuhkan birokrasi yang bertingkat,
yang memisahkan para wakil dengan para pemilihnya. Demokrasi
partisipatoris adalah demokrasi dalam artian sesungguhnya, di mana
masing-masing orang memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi
dirinya. Jika demokrasi representatif menggunakan metode dari atas ke
bawah (top-down), maka demokrasi partisipatoris lebih menekankan
pengambilan keputusan dari bawah (bottom-up).
[4] Kelompok affinitas merupakan kelompok
kecil berjumlah 5 sampai 20 orang yang bekerjasama secara otonom pada
proyek-proyek aksi langsung ataupun proyek lain. Kelompok affinitas
menantang pengambilan keputusan dari atas ke bawah, dan memberdayakan
mereka yang terlibat untuk mengambil aksi langsung yang kreatif.
Kelompok affinitas memampukan orang untuk melihat aksi mereka dengan
kemerdekaan penuh dan kekuasaaan untuk pengambilan keputusan. Kelompok
affinitas menggunakan prinsip-prinsip desentralis dan non-hierarki.
[5] Kemandirian dan keberdayaan yang kami
maksud adalah kemandirian yang saling terhubung antar individu maupun
antar komunitas—kemandirian yang tidak terpisah dengan hal-hal lainnya.
Faktor-faktor ini perlu ditekankan karena sebenarnya setiap individu
maupun komunitas punya keunikannya masing-masing. Bandingkan dengan
individu maupun komunitas yang hanya bisa membebek pada
komunitas-komunitas lainnya: semua hal akan menjadi seragam dan
membosankan.
Di sisi lainnya, kemandirian yang
dimaksud oleh para individualis sempit adalah kemandirian yang
memutuskan relasi sosial dengan sesamanya. Mereka merasa dirinya sendiri
jauh lebih baik dari orang lain. Kemandirian yang diklaim oleh para
individualis sempit ini biasanya berujung pada tindakan kekerasan
terhadap kelompok lain.
[6] Otonomi Daerah adalah sebuah parodi
tak lucu akan kemandirian. Bagaimana mungkin sebuah daerah mampu otonom
dalam konstelasi birokrasi yang terpusat, yang keputusannya tetap berada
di tingkat paling atas? Otonomi daerah hanyalah sebuah restu yang
diberikan pejabat-pejabat pusat di Jakarta agar para pejabat daerah bisa
korupsi lebih banyak lagi, dan artinya, yang paling menderita lagi-lagi
orang-orang seperti kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar